Isu Pertanian Indonesia 5 Tahun ke Depan
Dalam penyampaian materinya dalam seminar Cita Bangsa yang digelar BEM FP-UB pada Kamis (17/09), peneliti yang akrab dipanggil Pak Boga ini, menjelaskan materi tentang “Swasembada pangan Indonesia, akselerasi, dan dukungan Balitbang Kementan”. Beliau juga menjelaskan bagaimana menyikapi isu pertanian khususnya di Indonesia 5 tahun kedepan. Lalu, bagaimana penjelasan yang lebih rinci dan mendalam mengenai hal itu, simak wawancara reporter CANOPY bersama Dr. Kuntoro Boga Andri, SP, M. Agr,PhD (Peneliti di Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Jawa Timur.
Mengenai isu pertanian Indonesia sampai saat ini, apa saja isu pertanian yang ideal 5 tahun kedepan?
Mungkin yang pertama mengenai produksi kita, kita inginkan produksi kita cukup, tak perlu impor. Khususnya padi, sampai saat ini sebenarnya kita telah swasembada dimana kita telah mencukupi kebutuhan kita sendiri. Dari data yang saya punya, bahkan stok beras kita surplus 4 juta ton per tahun, itu harus dipertahankan. Berikutnya mengenai daya saing produk, menghadapi pasar global di zaman sekarang, tentu kita harus mampu meningkatkan daya saing, supaya produk kita mampu bersaing dengan produk luar. Lalu masalahnya apa? Produk kita masih tertinggal jauh. Kita ambil contoh, mangga. Di Jepang, saya membeli mangga dengan harga 50-70 ribu per buah. Di sini? Sangat murah sekali. Dan ketika daya saing telah kita tingkatkan, harus ada pemantapan supaya kualitas produk kita berada dalam kondisi stagnan. Isu yang tak kalah penting adalah diversifikasi pangan dan menyangkut kesejahteraan petani. Kita tahu, masyarakat Indonesia terlalu bergantung pada padi, padi, dan padi. Padahal, swasembada pangan yang artinya mampu memenuhi kebutuhan pangan bukan hanya pangan beras, harus ada capaian pangan berbasis kearifan lokal, tiap-tiap daerah di Indonesia. Mengenai kesejahteraan petani, jelas ini isu yang selalu ada. Rata-rata petani kita hanya memiliki lahan seperempat sampai setengah hektare, dan penggunaan teknologi-teknologi maupun inovasi lain belum terserap. Jika kita bandingkan petani di luar sana? Di Amerika petani begitu maju. Kebanyakan petani kita juga masih tradisional, belum berpikir bagaimana bidang pertanian ini dijadikan bisnis.
Apa saja permasalahan dan tantangan pertanian di Indonesia hingga saat ini?
Ya itu tadi, bagaimana petani kita hanya memiliki lahan rata-rata setengah hektare. Infrastruktur di sini pun belum begitu berkembang. Seperti teknologi-teknologi, kita seperti tertinggal 30 tahun dari negara lain. Benih bersertifikat dan inovasi lain yang mampu meningkatkan produksi harus lebih dikembangkan dan ditingkatkan lagi aplikasinya. Bagaimana SDM-SDM kita, petani-petani kita harus lebih banyak diberi penyuluhan, bagaimana menanam dengan baik. Contohnya kelompok tani yang kami bina di Kediri, mampu menanam cabai merah dalam kondisi off-season, di musim hujan pun sebenarnya petani masih dapat berproduksi, walaupun dengan resiko yang lumayan tinggi. Lalu permodalan, banyak petani yang tidak ingin menanam sayuran, yang profitnya bisa cukup besar. Karena butuh modal yang cukup, akhirnya petani menanam padi atau jagung atau yang lain. Dan dukungan pemerintah tentunya dengan regulasi-regulasi yang memihak petani, contohnya untuk kepemilikan lahan, perusahaan perkebunan dengan mudah, bagaimana dengan petani kita? Tentunya ini semua dilakukan dengan kebijakan-kebijakan yang tidak menyalahi aturan, harus adil.
Lalu apa saja sebenarnya program strategis dalam menghadapi krisis pangan global maupun domestik di tengah kondisi pertanian Indonesia saat ini?
Basis produksi kita harus diperbaiki, dengan meningkatkan daya saing, memaksimalkan komoditas-komoditas andalan juga strategi bertahan kita di wilayah domestik (mikro) dan menyerang di wilayah global (makro).
Mengenai perubahan basis produksi menjadi peningkatan daya saing?
Produk kita banyak sebenarnya yang sudah bisa bersaing dengan produk impor. Jika diambil contoh buah-buahan, kita kan hanya pasrah menerima buah impor masuk, sehingga kita melupakan produk-produk lokal kita. Mengapa produk kita jarang dilirik? Salah satunya karena kualitas, maka harus ada peningkatan kualitas yang ditopang dengan pengaplikasian inovasi dan teknologi yan mendukung. Itu yang akan kita perbaiki.
Mengenai komoditas andalan?
Memang saat ini, bangsa kita dengan makanan pokok beras harus tetap dipertahankan. Namun, komoditas-komoditas lain yang berpeluang mendapatkan keuntungan bagi petani juga harus dimaksimalkan. Contohnya, jagung. Jagung itu 70 % untuk kebutuhan industri pakan ternak, dan peluangnya cukup besar, namun kita masih banyak impor. Contoh lain, di Sumatra dan Sulawesi, banyak petani yang mulai merambah tanaman industri, tanaman perkebunan yang bisa mendatangkan keuntungan. Untuk Jawa sendiri, dengan lahan yang sempit, harus bisa dikembangkan komoditas tanaman yang istilahnya high value comodity, antaranya tanaman hortikultura, tanaman obat-obatan, biofarmaka, tanaman hias dan bunga-bungaan (floriculture). Pilihan-pilihan itu kita serahkan kepada petani namun petani juga harus dibimbing, didamping dan diedukasi.
Pandangan anda tentang konversi lahan?
Mengenai konversi lahan, ini juga salah satu yang harus dicermati. Bahwa sudah ada UU tentang konversi lahan, namun implementasinya di Pemda, sekarang banyak Pemda sudah bisa untuk membuat peraturan daerah, supaya lahan produktif itu tidak bisa dikonversi. Termasuk Malang Raya dan sebagainya, telah dibentuk Perda mengenai konversi lahan, jadi harapannya sudah tidak bisa dikonversi lagi. Tetapi, di satu sisi lain kita jangan menahfizkan bahwa konversi lahan itu salah satu hal yang sulit dihindari. Jadi kita harus berpikiran bahwa lahan pertanian harus diproteksi, lahan-lahan abadi juga harus dibuat, kita juga berusaha untuk kedepan perbaikan infrastruktur harus diperbaiki, kita mulai concern membangun pertanian diluar jawa. Selain memang konversi lahan itu berhubungan dengan keuntungan, kita harus bisa memberikan keuntungan yang lebih untuk pertanian, kalau petani merasa untung dengan lahannya, ya tidak akan dijual. Ada banyak strategi, mungkin salah satunya itu.
Reporter : Alif Nur Rizki