Politik Pertanian
Oleh : Niswatin Hasanah
Miris ketika mendengar sebutan Indonesia sebagai “negara agraris”, ketika Indonesia masih mencatatkan defisit pangan karena nilai impor lebih besar dibanding ekspor. Dengan kondisi ini, julukan Indonesia sebagai negara agraris patut dipertanyakan kembali.
Bukan hanya itu, marak juga perdebatan mencari definisi soal siapa sebenarnya yang dinamakan “petani” dalam konteks kekinian. Apakah mereka yang memiliki lahan ratusan hektar yang dikenal dengan “petani berdasi” atau mereka yang hanya memiliki sejengkal lahan yang dikenal dengan “petani buruh” atau mereka yang dikenal sebagai “petani gurem” karena hanya memiliki lahan sawah rata-rata 0,3 ha.
Meskipun dalam Undang- Undang Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2013 tentang perlindungan dan pemberdayaan petani sudah dijelaskan bahwa Petani adalah warga negara Indonesia perseorangan dan/atau beserta keluarganya yang melakukan Usaha Tani di bidang tanaman pangan, hortikultura, perkebunan, dan/atau peternakan. Namun penting untuk dicatat “Apalah artinya sebuah UU jika kita sendiri tidak pernah mau atau berani untuk mendefinisikan siapa yang dimaksud dengan petani itu sendiri.”
Pertanian merupakan sektor yang penting dalam menunjang pembangunan perekonomian suatu negara terutama Indonesia. Di sinilah sebetulnya “Politik Pertanian” dari sebuah pemerintahan sangat dibutuhkan. Tidak terkecuali pemerintahan Jokowi yang pada tahun 2015 akan memfokuskan anggaran pada dua sektor,yaitu infrastruktur dan pangan. Mari kita nantikan gebrakannya sehingga mampu mengubah potret petani dan pertanian Indonesia.
Apalagi pada tahun 1995 Indonesia mengikuti perjanjian perdagangan bebas Asia Tenggara yang disebut ASEAN Free Trade Area (AFTA). Perjanjian tersebut mengatur salah satunya tentang pembebasan masuknya barang impor dengan mudah. Dulu pajak impor beras 35% kemudian menjadi 3%. Hal ini mengakibatkan semua produk luar negeri bebas masuk ke Indonesia. Selain itu, Indonesia harus melakukan penghapusan hambatan–hambatan kuantitatif dan hambatan–hambatan non-tarif.
Dimulai awal tahun 2016 nanti, AFTA sudah berlaku penuh, sehingga jika tidak ada keyakinan pada kemampuan sendiri, maka suatu negara akan habis.
Seperti yang dikemukakan oleh Monke dan Pearson (1989), politik pertanian adalah campur tangan pemerintah di sektor pertanian dengan tujuan untuk meningkatkan efisiensi yang menyangkut alokasi sumber daya untuk dapat menghasilkan output nasional yang maksimal dan memeratakan pendapatan, yaitu mengalokasikan keuntungan pertanian, antar golongan dan antar daerah, keamanan persediaan jangka pendek, dan menjamin ketersediaan bahan makanan jangka panjang. Dalam hal ini, kebijakan pertanian dibagi menjadi 3 kebijakan dasar, antara lain:
- Kebijakan komoditi yang meliputi kebijakan harga komoditi, distorsi harga komoditi, subsidi harga komoditi dan kebijakan ekspor
- Kebijakan faktor produksi yang meliputi produksi yang meliputi kebijakan upah minimum, pajak dan subsidi faktor produksi, kebijakan harga faktor produksi, dan perbaikan kualitas faktor produksi
- Kebijakan makro ekonomi yang dibedakan menjadi kebijakan anggaran belanja, kebijakan fiskal, dan perbaikan nilai tukar
Dengan demikian, politik pertanian menjadi sangat penting bagi suatu negara dengan cara memperhatikan suatu proses perkembangan yang berkesinambungan dan berkelanjutan sehingga pertanian Indonesia mampu mencapai swasembada pangan yang berdampak pada peningkatan perekonomian Indonesia juga kesejahteraan petani.