Persmacanopy.com

Membangun Pertanian Indonesia

Reformasi dalam Kabut: Dari Kekecewaan Rakyat hingga Anarki Jalanan

Pagi itu di pasar tradisional pinggiran kota, aroma bawang dan cabai berpadu dengan raungan tawar-menawar, sementara pedagang sayur perempuan setengah baya menghela napas panjang. “Dulu katanya reformasi bikin hidup lebih baik. Tapi sekarang harga-harga makin melambung, apa yang lebih baik?” keluhnya menimbang kangkung—suara sederhana yang mencerminkan keresahan jutaan rakyat kecil yang menanggung beban hidup. Lebih dari dua dekade bangsa ini melintasi fase reformasi, namun keresahan seperti itu tak kunjung surut. Mereka tidak membaca indikator pembangunan atau diskursus politik, tetapi langsung merasakan dampaknya pada harga beras, ongkos transportasi, dan uang belanja yang makin menipis.

Di kampus-kampus, mahasiswa masih turun ke jalan membawa tuntutan keadilan, transparansi, kesejahteraan, dan institusi. Namun janji luhur reformasi yang dulu dielu-elukan kini semakin menyerupai bayangan yang sulit digapai: tampak menjanjikan, tetapi hilang saat didekati. Survei Indonesia Political Opinion (IPO) Mei 2025 mencatat kepercayaan publik kepada DPR hanya sekitar 45,8 persen, jauh tertinggal dibanding Presiden (97,5%) dan TNI (92,8%), menunjukkan ketidakpercayaan mendalam terhadap representasi politik. Elite politik terus bergelut dalam perhitungan kuasa, seakan rakyat hanyalah catatan kaki dalam naskah besar kekuasaan.

Masalah mendasar bangsa ini bukan hanya ekonomi atau hukum, melainkan kepemimpinan yang direduksi menjadi sekadar jabatan administratif tanpa moralitas. Banyak penguasa lahir dari kompromi, akumulasi modal, atau popularitas sesaat, bukan integritas sejati. Sebagaimana diakui seorang dosen politik dari Yogyakarta, “kita sering dipimpin oleh logika massa, bukan logika moral.” Ironisnya, dalam lanskap demokrasi, ruang partisipasi warganegara yang semestinya terbuka malah menyempit menjadi ritual elektoral yang kering makna. Transparency International mencatat skor Indeks Persepsi Korupsi (CPI) Indonesia hanya 37 dari 100 (peringkat ke-99 dari 180 negara), sementara Indeks Perilaku Anti-Korupsi (IPAK) BPS merosot ke angka 3,85 pada 2024.

Kebudayaan dan informasi pun mengalami kemunduran. Agama lebih sering direduksi sebagai simbol, bukan energi penggerak peradaban. Media lebih gemar menonjolkan konflik, sensasi, dan skandal ketimbang memberi ruang bagi narasi kebajikan. Akibatnya, masyarakat hidup dalam “kabut informasi”, di mana tragedi-tragedi besar dari Tanjung Priok hingga Trisakti tak pernah tuntas diadili. Dalam atmosfer seperti itu, nilai-nilai kebenaran mudah dipelintir dan masyarakat makin kehilangan pegangan.

Situasi mencapai titik kritis ketika, antara 29 Agustus dan 1 September 2025, gelombang demonstrasi nasional pecah. Kematian driver ojol Affan Kurniawan yang dilindas mobil Brimob menjadi pemicu; mahasiswa dan buruh turun ke jalan hingga muncul bentrokan, vandalisme, dan perampokan. Gedung DPRD dibakar, pos polisi dilempari batu, mal ditutup, TransJakarta dipadamkan, serta rumah pejabat dijarah. Delapan korban tewas, sementara pemerintah justru melonggarkan tunjangan mewah legislator. Kekerasan aparat menambah luka mendalam yang menegaskan wajah lain reformasi yang belum tuntas.

Idealnya, lebih dari dua puluh tahun setelah reformasi, bangsa Indonesia sudah memetik buah persatuan, kesejahteraan, dan kedewasaan politik. Namun realitas justru menunjukkan sebaliknya: energi bangsa tersedot ke rivalitas dangkal, fragmentasi sosial, dan tarik-menarik kepentingan elite. Alih-alih memperkuat demokrasi yang bermartabat, inklusif, dan beradab, reformasi melahirkan anarki, kekecewaan, dan politik tanpa orientasi nilai.

Kini, pertanyaan fundamental harus dijawab dengan jujur: apakah reformasi yang kita jalani masih sejalan dengan amanat awalnya, ataukah telah menyimpang jauh? Jika jawabannya negatif, bangsa ini membutuhkan keberanian untuk melakukan reformasi atas reformasi itu sendiri—agar pengorbanan yang telah dicurahkan tidak sia-sia dan cita-cita reformasi dapat kembali menemukan napas historisnya.

Penulis: Muhammad Renaldy Fasha

Editor: Muhammad Ihza Ezra Saputra

Gambar: Muhammad Zidan Al Antony

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

error: Maaf konten ini merupakan hak cipta kami. Untuk menduplikasi karya ini dapat menghubungi kami di redaksi@persmacanopy.com