Sepenggal Kisahku tentang Lakardowo
Panas teriknya matahari Kota Malang siang itu seolah-olah menyuruh kami untuk segera pergi. Perjalanan ke desa Lakardowo ini dilakukan oleh saya –Hanif Azhari serta Wikan Agung dan Pramana Jati yang merupakan senior saya dikampus. Maksud kedatangan kami ke desa ini ingin bersilaturahmi dengan Bu Sutamah selaku tokoh utama serta pahlawan dalam perjuangan di desa ini dan ingin mengetahui kabar lebih lanjut mengenai permasalahan di desa ini. Desa ini terletak di Kecamatan Jetis, Kabupaten Mojokerto, Provinsi Jawa Timur.
Desa ini selalu memiliki sesuatu yang selalu menarik perhatian sekaligus membuat kami prihatin. Bagaimana tidak, hingga saat ini desa ini dilanda permasalahan yang entah sampai kapan dan kamipun tak tahu kapan berakhir. Pencemaran lingkungan desa ini diindikasi akibat adanya penimbunan limbah yang dilakukan PT Putra Restu Ibu Abadi (PRIA) di dekat permukiman warga. Dampaknya mengakibatkan air tidak layak lagi untuk digunakan. Pemerintah juga belum melakukan langkah pasti untuk menanggulangi masalah ini.
Sebelum berangkat kami memberi kabar pada Bu Sutamah akan tinggal sementara di rumahnya. Tanpa menunggu waktu lama kami langsung mempersiapkan barang-barang yang akan dibawa ke desa. Patung pesawat Suhat menjadi titik kumpul kala siang itu (31/7). Dibawah terik sinar matahari dengan bermodal 2 motor matic butut, perjalanan kami dimulai. Perjalanan menuju desa ini membutuhkan waktu kurang lebih 2-3 jam. Truk-truk besar serta bus-bus panjang setia mendampingi perjalanan singkat kami. Setelah memasuki Kabupaten Mojokerto, kami disuguhi pemandangan berupa lahan pertanian yang berpadu dengan areal pabrik disepanjang jalan. Medan yang kami lewati tidak rata serta berlubang hingga tak terasa tibalah kami di Desa Lakardowo.
Sesampainya di desa Lakardowo, kami menyempatkan untuk mampir di salah satu toko. Bermodalkan uang iuran seadanya, kami membeli sembako sebagai buah tangan untuk Bu Sutamah beserta keluarga. Sampailah kami dirumah Bu Sutamah, Beliau menyambut kami dengan hangat dan tak lupa memberi beberapa sembako yang sempat kami beli tadi. Disana kami langsung diajak makan malam bersama keluarga Bu Sutamah. Makan malam kami begitu hangat ditemani suara riuh penonton bola dari televisi tabung. Rumah Bu Sutamah sangat sederhana masih beralaskan tanah dengan tembok tanpa cat. Tembok tersebut dihiasi oleh banyak foto yang terpampang kala beliau berkunjung ke kota-kota untuk mempertanyakan nasib desanya. Selain foto, berbagai penghargaan ikut menghiasi tembok rumahnya. Penghargaan tersebut ia diperoleh saat menjadi pembicara pada acara diluar kota. Saat ini Bu Sutamah bisa dibilang aktivis lingkungan karena kegigihan dan keinginan yang besar untuk mengembalikan lingkungan desanya. Terakhir kali beliau diundang untuk datang ke Bali dan beliau sendiri menceritakan pengalamannya pada kami.
“Wingi aku diundang 2 acara nak Bali, tapi aku tekone mung 1. Padahal seng sijine wes ngomong ‘iyo’ lek arep teko, tapi piye maneh? Lha duwek ku entek ee, iyo lek nak acarane iku aku dikei duek, lha lek gak dikei, lak yo aku gaisok muleh.” Kata Bu Sutamah.
“…Nak Bali iku lho akeh wong gawe tato. Aku kok wedi yo karo wong seng tatoan, padahal yo sakjane wonge gak ndemok aku, tapi piye maneh ancene aku wedi kok.” Lanjutnya dengan gaya melucu.
Selain Bu Sutamah, kedatangan kami disambut hangat oleh Bu Rum. Beliau merupakan orang yang selalu berada di sebelah Bu Sutamah dalam memperjuangkan keadilan bagi warga Lakardowo. Mereka menceritakan keadaan saat ini di desa Lakardowo.
“Opo Allah gak mesakne yo karo awakdewe?” Ucap Bu Sutamah sambil bercanda, mengingat perjuangan Bu Sutamah yang tiada lelah untuk menggugat PT PRIA. Bahkan sampai saat ini gugatannya selalu ditolak oleh Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN).
Bu Sutamah juga menceritakan tentang kelanjutan perkara antara warga desa dengan PT PRIA. beliau mengatakan ingin mengajukan gugatan Peninjauan Kembali (PK) kepada PTUN. Saat kami berkunjung kesana, beliau sibuk mengurus surat-surat yang akan digunakan untuk mengajukan gugatan PK. Untuk memperoleh surat-surat tersebut, beliau perlu berkoordinasi dengan Pamong Desa. Menurut penuturan Bu Sutamah, Pamong Desa terkadang menyulitkan proses pembuatan surat. Pada saat itu surat untuk menggugat PK telah selesai dibuat tetapi masih ditemukan kendala pada redaksionalnya sehingga surat tersebut belum bisa diajukan.
Cerita demi cerita dari kami dengarkan, sampai tak terasa hari akan segera berganti. Kami pun memutuskan untuk beristirahat. Disinilah kami tidur, di dalam kamar berukuran 3×3 m beralaskan kasur tipis, dengan cepat kami terlelap. Rasa lelah kami terbayarkan oleh sajian sarapan yang dibuat oleh Bu Sutamah untuk kami. Tak diduga Wikan memberanikan diri untuk mandi pagi. Bukan badan menjadi segar malah rasa gatal yang diterimanya selain itu dia memberitahu kami air terasa sedikit panas dan sedikit bau. Melalui perbincangan yang kami lakukan saat sarapan pagi ternyata hari ini (1/8), Bu Sutamah ingin mengunjungi pondok pesantren dimana anak bungsunya menimba ilmu. Febri, anak terakhir Bu Sutamah yang sekarang duduk di kelas 1 SMP. Saat ini bersekolah di salah satu pondok pesantren di daerah Gresik. Menurut penjelasan Bu Sutamah, Febri memilih untuk tinggal di pondok pesantren dikarenakan dia tidak ingin membebani Ibunya apabila beliau perlu pergi ke luar kota.
Siang hari kami dan Bu Sutamah beserta suami berangkat menuju pondok pesantren dimana anak bungsunya menimba ilmu. Beliau tak lupa untuk membelikan beberapa makanan titipan Febri. Tibalah kami di pondok pesantren, kami bertemu dengan Febri dan beberapa temannya. Terlihat banyak orang tua lain yang sedang mengunjungi anaknya, sepertinya hari ini adalah hari kunjung orang tua. Febri terlihat sangat bahagia dengan kedatangan kedua orangtuanya. Setelah berbincang lama tiba saatnya kami berpisah, tak lupa Febri menuliskan titipan yang perlu dibawa saat kunjungan berikutnya. Titipan yang ditulis Febri begitu banyak membuat Bu Sutamah terheran-heran dan membuat kami tersenyum dibuatnya. Setelah melepas rindu, dengan berat hati kami semua berpamitan dengan Febri untuk pulang.
Di tengah perjalanan pulang, Bu Sutamah mengajak kami untuk membeli es degan dan bakso dipinggir jalan. Semangkok bakso dan segelas es degan menjadi menu makan siang kami. Kala itu sinar matahari sedang terik-teriknya sehingga kami memutuskan untuk tinggal sebentar lagi. Bu Sutamah menghimbau untuk beristirahat sejenak hingga cuaca kembali bersahabat. Hingga sore, tibalah saat kami berpisah dengan Bu Sutamah. Kami bergegas mempersiapkan barang serta berpamitan dengan Bu Sutamah. Sebelum benar-benar pergi kami menyempatkan untuk mengunjungi sawah yang bersebelahan dengan areal pabrik PT PRIA. Kami mencari saluran pembuangan limbah yang diduga berada di daerah sana. Saya mengulik informasi dari petani disana mengenai nasib mereka akibat adanya pabrik PT PRIA. Menurut informasi yang saya peroleh dengan adanya pabrik ini menyebabkan pertumbuhan tanaman terhambat.
“yo jelas dadi mudun mas kualitase, padine kui dadi ireng-ireng mergo asap pabrike niku, kadang-kadang yo padine malih kosong. Limbah medis e kui yo kadang-kadang onok nak lahan sawah seng sebelahan karo pabrik e langsung. Asap e kui meh mben dino onok mas , tapi yo ga mesti mben dino.” Kata petani tersebut
Puas melihat-lihat kami bergegas pulang, karena esoknya kami harus kembali menjalankan aktivitas sebagai mahasiswa. Kami kembali saat sore hari dan sampai di Malang pada malam hari. kami berpisah dan menuju tempat tinggal masing-masing.
Jamuan dari keluarga Bu Sutamah begitu ramah dan hangat. Saya sangat terkesan, beliau sangat gigih dan semangat untuk mencari keadilan bagi tanah tempat tinggalnya. Selain itu, beliau juga sosok yang ramah, baik hati serta penuh canda tawa. Masalah lingkungan di desa Lakardowo ini tidak menjadikan warga untuk mengeluh. Saya melihat warga Lakardowo masih beraktivitas seperti biasa, walaupun disini terdapat masalah serius terkait lingkungannya. Semoga saya bisa berkunjung lagi ke desa ini di lain waktu.
Penulis: Hanif Azhari
Editor: Shanti Ruri Pratiwi