Setiap akhir semester, bersamaan dengan berakhirnya kegiatan praktikum tiap tiap mata kuliah, mahasiswa Fakultas Pertanian Universitas Brawijaya (FP UB) dihadapkan pada momen bombastic, yaitu Ujian Akhir Praktikum (UAP). Berbeda dengan Ujian Akhir Semester (UAS) yang berbasis soal tulis atau proyek individu, UAP menuntut mahasiswa untuk menyelesaikan laporan besar secara berkelompok. Laporan ini menjadi penilaian akhir yang menguji pemahaman praktikan sekaligus kemampuan kolaborasi. Namun, di balik proses penyusunannya, jelas akan terjadi dinamika kompleks, terutama bagi seorang editor yang bertugas memastikan kesempurnaan laporan.
Salah satu tantangan terbesar editor adalah ketidakseragaman waktu pengumpulan bagian laporan dari masing-masing anggota. Ada yang disiplin mengumpulkan tepat waktu, tetapi tak sedikit yang terlambat, bahkan mendekati deadline. Hal ini jelas menciptakan tekanan tersendiri, karena editor harus mengejar ketertinggalan sambil memastikan kualitas laporan dan format tetap sesuai. Belum lagi, koordinasi yang sering kali kacau balau akibat perbedaan prioritas atau kesibukan pribadi tiap anggota.
Selain masalah ketepatan waktu, editor juga dibebani dengan aturan format yang rumit dan multi-parameter. Mulai dari margin, font, penomoran, hingga tata letak tabel dan gambar semua harus seragam sesuai panduan. Kesalahan kecil dalam format bisa berujung pada pengurangan nilai, sehingga editor harus ekstra teliti. Namun, tak jarang, parameter yang terlalu banyak justru membingungkan, apalagi jika panduan tidak jelas atau berubah di tengah jalan.
Apa Kata Mereka yang Pernah menjadi Editor
“Momen paling berkesan saat menjadi editor laporan besar UAP justru terjadi ketika kami berkumpul bersama. Saat itulah ide-ide dari berbagai sudut pandang bertemu, anggota kelompok yang berasal dari daerah berbeda membawa pemikiran unik, memperkaya solusi atas masalah yang kami hadapi. Namun, di balik kebersamaan itu, tantangan terbesar justru muncul saat asistensi. Di sinilah semua kelemahan laporan terlontarkan, mulai dari logika yang kurang kuat, data yang belum akurat, atau format yang masih berantakan. Justru di momen-momen kritis itulah kami benar-benar belajar bukan hanya tentang materi, tapi juga tentang cara berdebat, menerima kritik, dan memperbaiki diri.
Frustasi? Tentu pernah. Terutama ketika deadline sudah di depan mata, tapi masih ada bagian laporan yang belum terkumpul atau revisi yang menumpuk. Rasanya ingin marah, tapi apa daya? Tugas harus diselesaikan. Akhirnya, satu-satunya jalan adalah membagi waktu seefisien mungkin, mengerjakan apa yang bisa dikerjakan, dan memaksa diri untuk memberi yang terbaik meski dalam tekanan. Pengalaman ini mengajarkan bahwa deadline bukan sekadar ancaman, tapi juga motivator yang memaksa kami bekerja lebih disiplin.
Lalu, bagaimana menghadapi anggota kelompok yang menunda-nunda atau bahkan enggan berkontribusi? Awalnya, kami mencoba mengingatkan dengan baik-baik setiap orang punya tanggung jawab masing-masing. Tapi ketika teguran halus tak mempan, mau tidak mau kami harus melibatkan asisten praktikum (asprak). Di sinilah konflik muncul antara keinginan menjaga keharmonisan kelompok dan kewajiban menyelesaikan laporan dengan standar tinggi. Namun, justru dari sini kami belajar bahwa kerja tim bukan hanya tentang toleransi, tapi juga tentang komitmen dan konsekuensi. Harapan ke depan? Untuk laporan besar (labes) itu sendiri, semoga bisa menjadi lebih dari sekadar kewajiban akademik, tapi benar-benar mencerminkan pemahaman kami terhadap materi. Sementara untuk anggota kelompok, semoga semakin sadar bahwa tanggung jawab bukan beban individu, melainkan bagian dari proses belajar bersama. Perjalanan masih panjang, dan setiap rintangan, entah itu format yang ribet, deadline yang menekan, atau konflik internal adalah batu loncatan untuk tumbuh. Yang penting, semangat tak boleh padam. Karena di balik semua kesulitan editor laporan besar, ada pelajaran tentang kepemimpinan, kesabaran, dan arti sebenarnya dari kolaborasi” ungkap Farrel Ezra Agroekoteknologi 24.
“Aku masih ingat betul detik-detik itu ketika asprak bertanya siapa yang mau jadi editor laporan besar, dan ruangan tiba-tiba hening. Tanpa pikir panjang, tanganku teracung sendirian. “Ah, paling cuma urusan merge file Word dan Excel,” batinku saat itu. Kenyataannya? Ternyata menjadi editor itu seperti menjadi orang tua asuh bagi 15 anak dengan karakter berbeda-beda. Tantangan terbesarku adalah ketika harus menyatukan potongan-potongan laporan yang formatnya semrawut. Setiap file yang masuk seperti punya bahasa sendiri, font Arial bercampur Times New Roman, margin kiri-kanan berantakan, bahkan ada tabel yang tiba-tiba “berdiri” vertikal di tengah halaman landscape. Aku harus rela menghabiskan berjam-jam hanya untuk menyamakan format dasar, padahal seharusnya waktu itu bisa kupakai untuk mengecek substansi materi.
Deadline sebenarnya bukan musuhku. Justru, aku membuat sistem jadwal, file harus masuk 24 jam sebelum deadline asprak agar sempat kuperiksa. Tapi kenyataannya? Banyak yang baru mengirim H-1 jam bahkan ada yang nge-drop file 15 menit sebelum deadline akhir. Rasanya seperti sedang membangun rumah, tapi teman-teman baru mengantar batu bata saat bangunan seharusnya sudah jadi. Untuk para “deadliner“, aku punya trik buat deadline palsu yang lebih awal dari sebenarnya. Tapi ketika ada yang tetap melewati batas waktuku, aku hanya bisa pasrah. “30 menit lagi ya, atau aku masukin apa adanya,” ancamku di grup. Kadang, demi menyelamatkan laporan, terpaksa kumasukkan file yang belum sempat kuperiksa dengan doa semoga tidak ada kesalahan fatal.
Harapanku sederhana semoga teman-teman satu kelompok bisa lebih menghargai waktu bersama. Laporan besar ini bukan sekadar kumpulan halaman, tapi cerminan kerja tim. Aku tak meminta sempurna, hanya konsisten pada komitmen. Karena sebenarnya, menjadi editor itu bukan tentang menyatukan file, tapi tentang menyatukan niat dan tanggung jawab.“ Rakha Ayuri Noor Agroekoteknologi 23
Penulis: Hafidza
Editor: Muhammad Ihza Ezra Saputra
Gambar: Google Images
Leave a Reply