Resensi Novel Pasung Jiwa

Judul buku                       : Pasung Jiwa

Penulis                              : Okky Madasari

Tebal                                  : 328 halaman

Penerbit/cetakan         : PT. Gramedia Pustaka Utama/Cetakan II, Oktober 2015

Novel karya Okky Madasari ini bercerita tentang Sasana, seorang lelaki yang ingin hidup bebas. Sejak kecil Sasana dikenalkan dengan piano. Piano merupakan alat musik yang disukai orang tuanya sehingga ia dituntut mewujudkan mimpi orang tuanya yakni menjadi pianis yang memainkan musik-musik klasik, namun Sasana tak menyukainya tetapi ia tak bisa menolak. Setiap hari ia berlatih dengan bimbingan guru privat. Seiring berjalannya waktu Sasana mulai mahir bermain piano, ia bahkan memenangkan berbagai lomba musik hingga tingkat nasional. Permainan piano tersebut hanya dimainkan dengan tangan tetapi perasaan tidak ikut andil.

Sasana merupakan anak yang penurut, semua perintah orang tuanya selalu dilakukan tanpa mengeluh sedikitpun. Selain itu, ia juga anak yang berprestasi di sekolahnya. Ia selalu mendapatkan peringkat terbaik selama duduk di bangku SMP. Orang tuanya sangat bangga dengannya. Beberapa bulan kemudian ia memiliki seorang adik, bernama Melati. Ia sangat menyayangi adiknya. Ia iri pada segala sesuatu yang dikenakan Melati, menurutnya itu indah. Ia membenci dirinya karena tidak dapat berpakaian seperti Melati. Lambat laun ia bosan terus menerus memainkan musik klasik. Lalu, ia mendengar suara musik dari belakang rumah. Musik itu membuatnya merasa bahagia. Lalu, pergilah Sasana menuju sumber suara, tempat tersebut tak jauh dari rumah, hanya berjarak beberapa langkah saja. Sasana berdiri diantara orang-orang yang tengah berjoget, tanpa sadar ia menggoyangkan tubuhnya. Kedua orang tuanya tak mengetahuinya. Sampai suatu saat seseorang menarik paksa dirinya dan menyuruhnya masuk ke dalam mobil, itu ibunya. Ibunya sangat marah, dalam perjalanan pulang ibunya hanya diam. Sampai di rumah barulah sang ibu memarahinya. Ia mengatakan bahwa musik dangdut tidak baik untuknya, musik itu membawa pengaruh negatif karena para penonton menyaksikannya dalam keadaan mabuk. Sasana hanya diam mendengar celotehan ibunya. Setelah itu ia kembali ke kamarnya dan musik dangdut masih berdendang di telinganya.

Keesokan harinya ia mendengar musik dangdut yang berasal dari radio milik pembantunya. Tanpa sadar tubuhnya tiba-tiba bergoyang pertanda bahwa ia sangat menikmatinya. Setiap alunan musik adalah candu baginya. Saat SMA, Sasana ditempatkan di sekolah Katolik khusus putra oleh orang tuanya, demi kebaikannya. Agar ia tidak kehilangan keimanannya, orang tuanya mendatangkan ustadz untuk mengajari ilmu agama. Hari pertama masuk sekolah Sasana langsung dihadang beberapa orang saat hendak menuju kantin. Mereka meminta uang sakunya, tanpa berpikir panjang ia langsung memberikannya. Ia fikir dengan memberikan uang sakunya akan menyelesaikan masalah tetapi ia salah. Tak disangka mereka malah membawanya ke toilet, lalu menghajarnya habis-habisan. Sasana berteriak minta tolong namun tak ada seorangpun disana, ia sangat kesakitan. Lalu, mereka mengajak Sasana untuk bergabung dengan geng mereka dengan syarat memberikan uang saku setiap hari sebagai uang kas. Sasana mengiyakan karena ia tak ingin terus-menerus dipukuli. Saat pulang sekolah orang tuanya melihat dirinya babak belur. Tak disangka respon orang tuanya menjadi marah besar. Sasana marah, namun ia tetap diam. Ia membenci dirinya. Ia membenci ketidakberdayaannya. Ia membenci mereka karena mereka lelaki, sama sepertinya. Lalu dia pergi ke kamar untuk menenangkan dirinya. Ia menangis sejadi-jadinya. Pikirannya kacau, hatinya berkecamuk.

Keesokan hari saat pelajaran seni setiap siswa diminta menggambar manusia. Lalu ia menggambar tubuh Melati, karena menurut dia adiknya merupakan simbol keindahan. Ia menggambar dengan detail setiap lekuk tubuh sang adik. Saat mengetahui hal tersebut sang guru memanggil kedua orang tuanya. Ia tak paham mengapa hal tersebut menjadi masalah. Ia hanya melakukan apa yang diminta gurunya.

Seiring berjalannya waktu, kini Sasana sudah kuliah. Ia memutuskan untuk merantau di Kota Malang. Disana ia bertemu dengan Cak Jek dan Cak Man, mereka memiliki kesamaan yakni sama-sama menyukai musik dangdut. Kemudian Cak Jek mengajak Sasana menjadi profesional, ia memberikan beberapa pakaian wanita padanya. Sasana senang dengan barang-barang indah, ia memakainya dan Cak Jek terpesona. Kemudian Cak Jek mengubah namanya menjadi Sasa, sang biduan. Sejak menjadi biduan kehidupannya berubah, kini ia bebas tak lagi dibelenggu. Ia bernyanyi dan bergoyang dengan bebas. Suatu hari Cak Man menghampiri mereka. Ia mengatakan bahwa anaknya Marsini hilang. Marsini hilang setelah demo di depan pabriknya. Kemudian Cak Jek dan Sasa/Sasana merencanakan suatu aksi untuk mengembalikan Marsini, mereka melakukan konser dangdut di depan pabrik hingga menyebabkan kemacetan. Di tengah kepanasan Sasa tetap bernyanyi hingga aparat pun datang dan menangkap mereka semua. Sasa terus melawan tapi ia gagal. Mereka membawa Sasa ke markas, menyiksanya setiap hari, menjadikannya objek untuk memuaskan nafsu mereka. Sasa sangat menderita.

“Seluruh hidupku adalah perangkap. Tubuhku adalah perangkap pertamaku. Lalu orang tuaku, lalu semua orang yang kukenal. Kemudian segala sesuatu yang kuketahui, segala sesuatu kulakukan. Semua adalah jebakan-jebakan yang tertata di sepanjang hiduku. Semuanya mengurungku, mengurungku menjadi tembok-tembok tinggi yang menjadi perangkap sepanjang tiga puluh usiaku”

Novel ini menceritakan tentang arti kebebasan. Bebas baik fisik maupun psikis. Bebas mengungkapkan pikiran, bebas untuk menegakkan keadilan. Novel ini mengajarkan bagaimana Sasa atau Sasana mencari kebebasan serta merasakan arti kebebasan.

Penulis : Shanti Ruri P

Editor : Aisyah Rizky H

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

error: Maaf konten ini merupakan hak cipta kami. Untuk menduplikasi karya ini dapat menghubungi kami di redaksi@persmacanopy.com