Anak Semua Bangsa: Pergulatan Minke Mengenal Bangsanya
“Selama penderitaan datang dari manusia, dia bukan bencana alam, dia pun pasti
bisa dilawan oleh manusia”
Pramoedya Ananta Toer
Bangsa Indonesia patut berbangga ketika Pramoedya Ananta Toer pernah dinobatkan menjadi predikat peraih nobel sastra, karyanya Tetralogi Pulau Buru ini sangat mengesankan bagi saya. Tertalogi Buru karya Pram mulai dari Bumi Manusia, Anak semua Bangsa, Jejak Langkah dan Rumah Kaca, selalu dikaitkan dengan istilah Sumbangan Indonesia untuk Dunia, memang benar karena karyanya begitu mendunia hingga di terjemahkan ke dalam puluhan bahasa asing diselruh dunia. Prestasi sejarah yang sangat besar telah ditorehkan Sastrawan Indonesia sampai sejauh ini.
Anak Semua Bangsa adalah Novel kedua dari tetralogi Buru, karya yang ditulis Pram selama berada dalam kamp kerjapaksa tanpa proses hukum pengadilan di Pulau Buru. Seperti yang kita tahu, Tetralogi Buru adalah rangkaian kisah yang di muat Pram dalam Novel sejarah, walau ada beberapa imajinasi fiksi Pram yang kita harus pintar membedakannya.
Pada awalnya mengisahkan kepergian Annelies ke negeri Belanda yang pergi karena masalah perwalian hingga kisah kesehatan Annelies yang melemah dan akhirnya harus meninggal di suatu negeri yang asing dan jauh dari orang-orang terdekatnya. Peristiwa ini membuat Minke dan Nyai Ontosoroh begitu terpukul. Bagaimana tidak, kisah Annelies di negeri Belanda hanya mereka ketahui dari isi surat Robert Jan Daperste alias Panji Darman, orang suruhan Mama (Nyai Ontosoroh) untuk mendampingi gadis cantik peranakan eropa itu. Takdir memang tak bisa di rubah.
“Jangan agungkan Eropa sebagai keseluruhan. Di mana pun ada yang mulia dan jahat…. Kau sudah lupa kiranya, Nak, yang kolonial selalu iblis. Tak ada yang kolonial pernah mengindahkan kepentingan bangsamu,” ucap Nyai Ontosoroh di satu waktu memperingatkan.
Anak Semua Bangsa begitu lugas menceritakan bagaimana tokoh utamanya Minke yang selama ini pandai menulis dalam Belanda berusaha mengenal lebih bangsanya dengan menyelami kehidupan-kehidupan masyarakatnya. Suatu ketika ia pergi ke Tulangan, Sidoarjo bersama Mama untuk pergi ke rumah Sastro Kassier, kakak dari Sanikem (Nyai Ontosoroh). Disitu Minke mendapati salah satu petani pemilik lahan yang memberontak tak ingin lahannya disewa semena-mena oleh pabrik Gula, namanya Trunodongso. Minke pun menulis dalam melayu, naluri tulisannya yang membela kaum tertindas mulai terlihat. Namun ketika tulisannya sampai kepada Nijman sang redaktur di harian S.N v/d D, ia ditolak dan pada akhirnya ia tahu bahwa harian itu besar oleh perusahaan gula dan tak mungkin Nijman meloloskan tulisan itu.
Minke kemudian beranggapan, bahwa kaum kapitalis lah yang kemudian bakal menguasai setiap inci kehidupan manusia. Pengetahuan baru yang ia ketahui pula saat ia berbincang dengan Ter Haar, seorang eropa, muda dan ramah bekas mede redaktur S.N v/d D. Diatas kapal Oosthoek yang berlayar dari tanjung perak meninggalkan surabaya, wonokromo dan masa mudanya, Ter haar berkata:
“Yang dinamakan jaman modern, tuan Tollenaar adalah jaman kemenangan modal. Setiap orang di jaman modern diperintah oleh modal besar, juga pendidikan yang tuan tempuh di H.B.S disesuaikan dengan kebutuhannya, bukan kebutuhan Tuan pribadi. Begitu juga surat kabarnya, semua diatur oleh dia, juga kesusilaan, juga hukum, juga kebenaran dan pengetahuan”
Beberapa kali, Pram juga menyertakan kisah sejarah perkembangan dunia pada akhir abad 19. Banyak yang ia tuliskan, mulai dari kedudukan Jepang pada saat itu, bangsa Asia pertama yang berdiri sejajar dengan kaum kulit putih, hingga perasaannya mengenai kebangkitan kaum kapitalis, kaum pemodal yang mulai menjamah dunia, menurut Pram berkat kaum kapital juga teknologi-teknologi modern bisa diciptakan. Banyak sekali terkisahkan, bahwasanya penguasaan dunia adalah penguasaan teknologi. Namun teknologi akan dihasilkan tentunya dengan modal yang besar, modal dari Kapital.
“Dulu suatu bangsa bisa hidup aman di tengah-tengah padang pasir, atau hutan. Sekarang tidak. Ilmu pengetahuan modern mengusik siapa saja dari keamanan dan kedamaiannya. Juga manusia sebgai makhluk sosial dan sebagai individu tidak bisa lagi mersa aman. Dia dikejar-kejar selalu, katena ilmu pengetahuan modern memberikan inspirasi dan nafsu untuk menguasiai: alam dan manusia sekaligus. Tak ada kekuatan lain yang bisa menghentikan nafsu berkuasa ini kecuali ilmu pengetahuan itu sendiri yang lebih unggul, di tangan manusia yang lebih berbudi” yang saya kutip dari halaman 83.
Kisah sejarah lain yang dimuat Pram adalah bangkitnya bangsa Mexiko, seperti yang diceritakan Pram dalam suatu percakapan dibawah ini, lagi-lagi percakapan Ter Haar dengan Max Tollenar (Minke):
“……Tahu tuan tentang mexiko?”
“Tidak sayang sekali.”
“Bangsa jajahan pertama yang mengalahkan Tuannya, Spanyol. Apa arti pribumi mexiko waktu itu dibandingkan dengan Spayol? Sekali suatu golongan bangkit, kekuatannya takkan dapat dibendung lagi. Tidak dapat tuan.” Dan seakan hendak menjerit: “Tidak bisa!”
“Tuan nampaknya percaya Hindia akan demikian juga.”
“Tidak percuma aku bicara semacam ini pada Tuan.”
“Kan itu bakal tak menyenangkan bangsa Belanda, khususnya Tuan sendiri?” tanyaku.
“Aku lebih percaya pada Revolusi Prancis, Tuan Tollenaar. Kebebasan, persaudaraan dan persamaan, bukan hanya untuk diri sendiri seperti sekarang terjadi di seluruh daratan Eropa dan Amerika Serikat, tapi untuk setiap orang, setiap dan semua bangsa manusia diatas bumi ini. Sikap begini biasanya dinamai sikap liberal sejati, Tuan.”
Ya, karena “Selama penderitaan datang dari manusia, dia bukan bencana alam, dia pun pasti bisa dilawan oleh manusia” kutipan terakhir ini saya kutip dari halaman 180.
Dan point penting yang kemudian saya selalu ingat dalam novel ini juga, bahwasanya penulis (Pramoedya Ananta Toer) menitipkan pesan kepada pembaca bahwa menulis adalah bekerja untuk keabadian. Melalui perantara ucapan yang di ucapkan Nyai Ontosoroh kepada Minke.
“Tahu kau mengapa aku sayangi kau lebih dari siapapun? Karena kau menulis. Suaramu takkan padam ditelan angin, akan abadi, sampai jauh, jauh di kemudian hari“ Nyai Ontosoroh pada raden mas Minke pada suatu pembicaraan. Buku ini akan menggugah semangat dalam menulis, karena menulis bukan hanya untuk menaikkan eksistensi belaka. Point penting dari menulis bukan hanya untuk dibaca atau berbicara pada banyak orang, itu merupakan point plus dari menulis, menulis sejatinya adalah bekerja untuk keabadian. Kalimat yang mungkin butuh pemahaman lebih.
Akhir kata, saya tutup tulisan kecil ini dengan kutipan lain dalam Roman sejarah ini, “Orang bisa percaya pada segala yang tidak benar. Sejarah adalah sejarah pembebasan dari kepercayaan tidak benar, perjuangan melawan kebodohan, ketidaktahuan.”
Judul Buku : Anak Semua Bangsa
Penulis : Pramoedya Ananta Toer
Penerbit : Hasta Mitra
Jumlah halaman : 353 halaman
Penulis resensi: Alif Nur Rizki