Apakah Kekerasan yang dilakukan Senior itu Murni Demi Kebaikan Junior?
Lagi dan lagi kekerasan fisik dengan mengatasnamankan senioritas yang melakukan tindak kekerasan pada juniornya belum lama ini kembali terjadi. Kasus terbaru, tahun 2021, dugaan kekerasan oleh senior organisasi mahasiswa Resimen Mahasiswa (Menwa) Universitas Sebelas Maret, berujung pada kematian korban pada saat Kegiatan Diklatsar (24/10). Kegiatan yang diselenggarakan dua minggu tersebut diikuti sebanyak 12 peserta diklat. Salah satunya yakni korban Gilang Endi Saputra (20 tahun) asal Karanganyar, Jawa Tengah.
Sebenarnya, jika dilihat ke belakang, pemanfaatan gelar “senior” yang seolah-olah “memperbolehkan” untuk melakukan suatu tindakan tidak wajar dengan embel-embel melatih mental junior mereka agar bisa lebih kuat. Hal ini cukup marak terjadi di Indonesia. Kasus diatas bukan menjadi yang pertama kali, pada tahun 2017 kekerasan oleh senior di dalam asrama Akademi Kepolisian (Akpol) Semarang, korban tewas dalam apel pembinaan oleh seniornya, di luar kegiatan resmi sekolah. Dua tahun setelahnya tahun 2019, terjadi pada anggota Paskibraka (Pasukan Pengibar Bendera Pusaka) Tanggerang yang berujung kematian korban, menurut pemaparan KPAI, kekerasan dilakukan oleh senior korban. Dan sebenarnya kasus-kasus kekerasan oleh senior terhadap junior masih banyak bertebaran di Indonesia, bukan hanya di organisasi berbau militer, tapi mulai dari tingkat sekolah sampai perkuliahan, lalu sebenarnya apa tujuan dari pemberlakuan kegiatan yang mungkin bisa disebut perpeloncoan tersebut? Bagaiamana reaksi para junior terhadap tindakan yang mereka rasakan?
Bukakah pelaku tindakan senioritas masa kini adalah korban senioritas masa lalu yang menyimpan dendam dan menuntut balas dengan cara yang kurang lebih sama seperti yang mereka alami. Lalu bukanah senioritas hanya menjadi ajang penyaluran dendam dari waktu ke waktu dengan dalih pelatihan kedisiplinan. Lalu, bagaimana awal mula tindakan senioritas tersebut bisa ada? Karena dorongan rasa ingin dipandang tinggi? Gila hormat para atasan? Murni tujuan melatih mental? Lalu, apakah fokus mental junior benar-benar terlatih atau malah hanya menimbulkan dendam dan benci kepada senior mereka?
Lalu mengapa ada bentuk kekerasan yang perlu dilakukan? Itu adalah cara tercepat untuk mendapatkan kekuasaan dan cara termudah demi atasan untuk memberitahu bawahan mereka bahwa “di sini aku yang memegang kuasa, kamu bukan apa-apa di sini, ikuti perintahku, jika kamu ingin terlibat dalam organisasi ini”. Bukan dengan cara mendapatkan kepercayaan dari junior, bahwa para senior akan membimbing junior untuk dapat memahami bahwa disiplin itu perlu.
Bukankah jika diperhatikan, lama kelamaan bentuk senioritas ini seperti tindakan bullying yang mana, mereka yang merasa besar menindas yang kurang berdaya sebagai bentuk kepemilikan kekuasaan atas korban demi mendapat keuntungan sepihak. Apakah ini yang disebut “premanisme” yang me-malaki orang-orang yang tidak bersalah demi mencapai keuntungan dengan cara termudah dan instan. Sama halnya tindakan pemaksaan kolonial terhadap pribumi yang memiliki keterikatan sebagai buruh dalam program kerja paksa untuk melakukan hal yang dikehendaki penguasa. Lalu apakah benar itu motif yang diinginkan oleh para senior?
Seperti kata seorang psikolog, jika kita mengumpulkan banyak monyet dari latar belakang yang berbeda, dalam beberapa selang waktu akan kita temukan satu monyet yang memiliki kuasa dari kelompok tersebut, entah dengan cara kekerasan atau cara lain seperti apa monyet itu bisa memiliki kekuasaan sebagai alpha dari kelompok monyet tersebut. Lalu mengapa monyet ingin berkuasa dan dipandang tinggi? monyet alpha akan mendapat jatah makanan lebih banyak karena ditakuti dan dilayani oleh monyet lain yang takut dan kastanya berada dibawah monyet alpha, tapi kita bukan monyet, haruskah manusia bertindak seperti itu?
Mungkin dengan adanya kekuasaan dalam suatu hierarki, peguasa akan termudahkan, baik akses logistik, administrasi, akses informasi, serta keuntungan sepihak lainnya yang didapat dari memanfaatkan dan memperdayai orang-orang lain yang takut dan tertindas oleh penguasa.
Entah mengapa, tapi sepertinya kedisiplinan di Indonesia hanya berkiblat pada standar militer. Bangun pagi buta, makan dengan waktu yang singkat, membalas pertanyaan di awali dengan kata “siap”. Kerikil yang berbeda-beda bentuk dan ukuran dilindas mobil silinder merk “komando satu rasa” hanya untuk dapat mengikuti perintah atasan, tanpa boleh atau bahkan bisa memepertanyakan kejelasan perintah sebagai bentuk kebebasan berpikir kritis. Jatuhnya malah mereka takut dimarahi atasan, bukan disiplin sebagai bentukan dari panggilan jiwa. Bagaikan kuda yang takut diambuk oleh kusirnya. Mereka akan meng-iyakan semua perintah, asal senior senang. Lalu apakah mental seperti itu yang diinginkan sebagai output dari kedisiplinan?
Jika semua pernyataan ini benar, bukankah sebenarnya para pelaku tindak senioritas hanyalah kumpulan orang-orang yang kurang mendapat tempat dan sorotan dalam hidup mereka, lalu memanfaatkan posisi yang mereka anggap memiliki kekuatan untuk berkuasa untuk mendapatkan pengakuan-pengakuan di tempat lain. Haruskah pelatihan kedisiplinan mental oleh senior kepada junior seperti ini dilanjutkan?
Penulis : Yuga Dwi Navris Tyono
Editor : Wikan Agung Nugroho
Gambar bersumber dari Hipwee.com