Dia dan Hujan

Hujan, bagiku bukan hanya tetesan air yang jatuh ke bumi. Hujan selalu mengingatkanku, akan kehadirannya dalam hidupku. Meskipun aku tahu, dia tak akan pernah menjadi milikku.

Sore ini saat kelasku sudah selesai, aku bergegas keluar ruangan. Karena kalau tidak ada keperluan, aku tidak suka berlama-lama di kampus. Bagiku, segera pulang ke kosan dan mengerjakan tugas-tugas, itu jauh lebih penting.

Suara petir yang menggelegar diiringi kilatan cahaya menandakan sebentar lagi hujan akan turun. Aku segera memakai jaketku dan mengeluarkan payung dari dalam tas. Ketika aku tidak dapat menemukan payungku dari dalam tas, saat itulah aku tersadar kalau payungku masih tertinggal di ruang sekretariat LKM. Hujan sudah mulai turun sekarang dan aku tidak sebodoh itu untuk berlari menembus hujan, berlari ke ruang sekretariat LKM dan mengambil payungku.

Aku merapatkan jaketku karena udara yang terasa semakin dingin sekarang. Aku memang menyukai hujan, tapi aku benci kedinginan.

“Akira,” seseorang memanggilku. Di antara banyaknya orang yang berkumpul menunggu hujan reda, ada seseorang yang sangat familiar denganku, “Tumben kamu belum pulang?” dia bertanya.

Aku melihat jam di tangan kananku, waktu sudah menunjukkan pukul 17.12, seharusnya aku sudah selesai mandi dan sedang menyiapkan makan malam sekarang.

“Aku.. gak bawa payung,” jawabku.

Indra – orang yang tadi bertanya, tertawa kecil mendengar jawabanku, “Gak biasanya kamu ceroboh, Ra. Payungmu dipinjam orang lain atau gimana?”

Aku menggeleng, “Bukan, payungku ketinggalan di Ruang LKM.”

Indra menatap ke langit, hujan turun semakin deras. “Hujannya kayanya bakalan lama,”ucap Indra, kemudian mengeluarkan sesuatu dari dalam tasnya, jas hujan. “Aku bawa jas hujan nih, mau aku antar ke ruang LKM? Sekalian aku juga mau ke parkiran ambil motor?” tawarnya.

Aku mengangguk dan menatapnya dengan bersemangat. Tentu saja aku tidak akan melewatkan kesempatan ini! “Boleh, kalau kamu gak keberatan, Dra.”

Begitulah aku dan Indra berlari menuju ruang LKM. Di bawah jas hujan merah milik Indra, kami berlindung dari derasnya air yang turun.

***

Sesampainya kami di depan ruang LKM, aku putus asa karena melihat ruang LKM yang terkunci. Biasanya, teman-teman LKM sering berkumpul di sini selesai kuliah. Tapi mungkin karena hujan deras, tidak ada satupun yang datang ke sini sehingga Ruang LKM masih terkunci.

“Gak ada orang ya, ruangannya dikunci?” tanya Indra.

Aku mengangguk dengan lesu. “Iya.. tapi makasih ya, Dra, udah anterin aku ke sini. Kamu pulang duluan aja, tadi mau ke parkiran kan?” Bukannya pergi meninggalkanku, Indra malah mengambil posisi duduk di sampingku, “Enggak deh, Ra. Aku temenin kamu di sini aja, sampai hujannya reda,” ucapnya.

***

Aku merasa tidak enak pada Indra kalau dia harus menunggu bersamaku di sini. Selain itu di sini sepi, hanya ada kita berdua, dan aku sangat tidak nyaman dengan kondisi tersebut.

“Gak apa-apa, Indra. Kamu pulang aja. Aku bisa nunggu sendiri di sini.”

Indra menggeleng, dia bersikeras untuk tetap menemaniku di sini, “Aku mau di sini, Ra. Aku khawatir kalau kamu ditinggal sendiri.”

Ini sangat canggung. Aku benar-benar tidak nyaman berdua saja bersama Indra di sini.

“Aku bisa jaga diri sendiri kok, Dra,” ucapku lagi.

***

Tiba-tiba Indra menyentuh tanganku, dan itu cukup membuatku terkejut sehingga aku menepisnya dengan kasar.

Tatapan Indra berubah menjadi sendu, “Kenapa sih, Ra? Kamu gak suka banget ya sama aku?”

Aku bingung dengan pertanyaan Indra yang tiba-tiba itu.

“Kamu selalu berusaha buat ngusir aku. Emangnya aku ngeganggu banget ya sampai bikin kamu gak nyaman kalau di dekat aku?” lanjutnya.

“Maksud kamu, Dra?” Aku bertanya karena tidak mengerti.

Indra menarik nafas dengan berat, “Aku gak tahu kamu beneran gak peka atau itu bentuk penolakan dari kamu. Tapi selama ini, aku selalu berusaha buat deketin kamu, Ra. Dan selama itu juga, kamu selalu menjauh.”

Aku membulatkan mata, terkejut dengan pernyataan Indra.

“Kamu selalu nolak setiap aku ajak pulang bareng. Setiap kali aku chat jawabanmu juga datar. Aku suka kamu, Ra! Sebenernya aku salah apa sih sama kamu, sampai kamu terus-terusan ngehindar dari aku?”

Aku terkejut dan sekarang baru menyadari kalau selama ini Indra memang berusaha mendekatiku. Tadinya aku pikir, dia hanya bersikap baik. Karena bagaimanapun juga, kami adalah teman sekelas.

“Maaf, Dra.” Aku menatap matanya, berusaha meyakinkannya kalau aku minta maaf.

“Maaf? Berarti, aku beneran ditolak ya?” Indra tersenyum getir, dia menundukkan kepalanya.

Harus kuakui, Indra memang cukup tampan. Dia juga merupakan mahasiswa berprestasi di kampus. Aku hanya tidak habis pikir, bagaimana bisa Indra menyukaiku?

“Kasih aku satu alasan, Ra. Kenapa.. kamu gak bisa terima aku?” tanya Indra, menatapku dengan harapan. Aku menghela nafas, selama ini aku berusaha menutup diri karena tidak ingin melukai orang lain dengan harapan. Tapi sepertinya hari ini, aku akan mematahkan harapan Indra.

***

Bersama rintikan air hujan, ingatanku kembali ke masa lalu. Masa di mana hanya ada aku, dia, dan hujan. Aku menyukai hujan, tapi aku tidak suka dinginnya. Hujan telah membawa dia datang padaku, dan bersama dinginnya hujan, dia pergi meninggalkanku. Sangat sulit bagiku untuk melupakannya. Meskipun kami telah lama berakhir, aku belum siap membuka hatiku untuk cinta yang baru.

Ragu-ragu, tapi aku harus melakukannya.

“Maafin aku, Dra. Aku.. gak bisa terima kamu.” Meski berat, aku harus menolak Indra dengan tegas.

“Kenapa, Ra? Aku gak cukup baik buat kamu?”

Aku menggeleng, “Bukan gitu, Dra.”

Raut wajah Indra sekarang kembali sendu, “Kamu gak mau kasih aku kesempatan dulu, Ra?”

Aku menggeleng lagi, meyakinkan Indra, “Jangan dipaksa, ya. Aku belum bisa lepas dari masa laluku. Sebaiknya kamu cari yang lain aja.”

Bersamaan dengan ucapanku itu, hujan perlahan lahan mulai berhenti. Aku bergegas mengambil tasku dan berdiri. “Hujannya udah reda, aku pamit pulang duluan, ya.” Aku berjalan meninggalkan Indra sendirian. Aku tahu tindakanku ini akan sangat menyakiti hatinya. Tapi bagiku, ini lebih baik daripada memberikan harapan kosong padanya. Bagaimanapun juga, hanya ada satu nama dalam hatiku. Dan itu tak akan pernah berubah, sampai kapanpun.

Kau bukan hanya sekedar indah, kau tak akan terganti ~Marcell

Penulis : Siti Nurhajijah

Editor : Diandra Putri

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

error: Maaf konten ini merupakan hak cipta kami. Untuk menduplikasi karya ini dapat menghubungi kami di redaksi@persmacanopy.com