Mau Perluasan lahan atau Konversi Lahan tetap saja Rakyat Butuh Makan
Oleh: Puji Tarseno*
Meninggal karena penyakit jantung, kanker atau penyakit yang lainnya mungkin terlihat mahal. Atau meninggal karena kecelakaan menjadi hal yang wajar karena banyak yang tidak menaati aturan lalu lintas. Tetapi meninggal karena kelaparan, gizi buruk, kwarsiorkor (penyakit yang diakibatkan karena kekurangan protein kronis pada anak, red), busung lapar menjadi cara meninggal yang menyisakan aib bagi sebuah negara. Dengan kasus yang demikian keberadaan negara sebagai penyedia pangan dan melindungi setiap warga negaranya terlihat nihil. Lebih ironis lagi kalau hal semacam ini bisa terjadi di sebuah negara yang tanahnya subur, yang seharusnya masalah pangan mampu teratasi.
Dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 18 tahun 2012 tentang pangan, pada Pasal 12 ayat 1 diterangkan bahwa “Pemerintah dan Pemerintah Daerah bertanggung jawab atas Ketersediaan Pangan.” Dalam hal ini jelas bahwa ketercukupan pangan bagi warga negara adalah tanggung jawab penuh dari pemerintah.
Terlepas dari usaha pemerintah untuk terus menggenjot teknologi pertanian dalam rangka meningkatkan hasil produksi tani, saat ini negara masih mengimpor beras untuk menutupi kekurangan kebutuhan pangan di Indonesia. Kegiatan ini mengundang banyak perhatian dari berbagai kalangan masyarakat. Penilaian-penilaian terhadap kinerja pemerintah pun mulai bermunculan. Ada yang optimis dan juga pesimis. Harga kebutuhan pangan yang melonjak ditambah carut-marutnya ekonomi melengkapi runyamnya permasalahan negeri ini.
Entah pemerintah yang sering main-main ataukah warga negaranya yang kurang sadar akan kondisi ketahanan pangan mereka sendiri, tetap saja Indonesia masih jauh dari “Kedaulatan Pangan”. Sekali lagi Indonesia harus mengimpor beras dan bahan pangan lain untuk memenuhi kebutuhan pangan rakyatnya.
Kabar terakhir pemerintah Indonesia masih akan mengimpor beras sebanyak 1,5 juta ton. Vietnam menjadi negara langganan pemasok beras bagi Indonesia. Impor ini menjadi bahan pertanyaan bagi masyarakat, karena kabarnya Indonesia tahun ini telah berswasembada beras. Dan lagi yang membuat malu, sampai saat ini masih diajarkan kepada anak-anak Sekolah Dasar bahwa negara kita, negara Indonesia, adalah negara agraris. Lalu apa yang salah dengan pertanian Indonesia?
Banyak permasalahan bagi pertanian Indonesia. Dari teknologi pertanian yang digunakan, kemampuan sumber daya manusia, sumber daya modal, dan yang paling penting adalah luasan lahan pertanian.
Mengenai luasan lahan pertanian, tentu kita akan dihadapkan dengan konversi (alih fungsi lahan) lahan pertanian. Meskipun ada kabar penghibur yang memberitahukan penambahan luas lahan pertanian di beberapa daerah, kasus-kasus konversi lahan sudah selayaknya mendapatkan penangan khusus dan tegas. Konversi lahan telah menelan beberapa daerah produktif pertanian, sebagai contohnya dipulau jawa saat ini banyak bangunan yang didirikan di atas lahan persawahan. Ini sangat disayangkan. Di tengah-tengah pertumbuhan penduduk Indonesia yang semakin lama semakin meningkat justru lahan penghasil bahan pangan dialih fungsikan menjadi bangunan fisik.
Intensifikasi pernah dijadikan jawaban andalan mengenai permasalahan produktivitas pangan kita. Namun yang perlu digaris bawahi intensifikasi juga mempunyai batasan. Upaya intensifikasi mungkin bisa menambah jumlah produksi naik 5 sampai 10 ton per hektare-nya. Namun jumlah ini mungkin masih kurang ketika jumlah masyarakat semakin naik. Tentunya dibutuhkan lahan baru.
Menanggapi permasalahan ini pemerintahan Jokowi nampaknya mulai bertindak nyata. Tahun ini Pemerintah tengah dalam proses membuka lahan baru seluas 1.2 juta hektare lahan persawahan. Proyek besar ini tergabung dalam Merauke Integrated Food and Energy Estate (MIFEE) yang terpusat di Merauke-Papua. Proyek yang diluncurkan pada 11 Agustus 2010 ini merupakan Proyek yang digagas Susilo Bambang Yudoyono pada 2008 lalu dan kemudian dilanjutkan pemerintahan Jokowi dalam bentuk rencana pembangunan lima tahun ke depan oleh Joko Widodo. Pada perjalanannya proyek ini pun menuai kontroversi dengan masyarakat setempat. Pasalnya proyek ini rentan atas kepentingan-kepentingan “tertentu”.
Terlepas dari permasalahan konversi lahan yang mengurangi luasan lahan pertanian ataukah upaya penciptaan lahan baru melalui proyek MIFEE, yang pasti peningkatan jumlah penduduk Indonesia ditahun 2020 kedepan yang diperkirakan mencapai 271,1 juta jiwa haruslah diiringi ketersediaan pangan yang mencukupi. Jangan sampai kasus kelaparan dan gizi buruk yang terjadi di Nusa Tenggara Timur meluas ke seluruh wilayah negara Indonesia yang agraris, yang subur tanahnya bagaikan “surga”.
*Penulis adalah mahasiswa Agribisnis angkatan 2013