Press Release Diskusi Eksternal, “Menuju Orba 2.0 : Membuka Kembali Lahan Neraka Orde Baru”

Malang-Canopy (19/5). Presiden Joko Widodo baru-baru ini meminta Badan Usaha Milik Negara (BUMN) untuk segera melakukan cetak sawah sebagai bentuk antisipasi apabila terjadi kekeringan yang melanda dan ancaman kelangkaan pangan. Hal tersebut ditengarai sebagai respondari Federal Agriculture Organization (FAO) yang menyatakan bahwa peringatan adanya potensi kelangkaan pangan dunia sebagai dampak panjang dari pandemi Covid-19. Presiden Jokowi dalam pencetakan sawah baru meminta BUMN mencetak sawah lahan basah atau lahan gambut di Kalimantan Tengah diperkirakan ada lebih dari 900.000 hektare, yang sudah siap 300.000 hektare dan yang dikuasai BUMN ada sekitar 200.000 hektare. Percetakan lahan sawah ini menimbulkan banyak pro kontra karena dampak yang terjadi jika lahan gambut diubah menjadi lahan sawah. Lahan gambut merupakan lahan yang memiliki kadar bahan organik yang tinggi sehingga sangat mudah terbakar. Kebakaran di lahan gambut dapat terjadi dalam waktu yang lama karena akibat sisa-sisa material organik yang menjadi bahan bakar sehingga memberikan asupan asap. Diketahui bahwa terdapat banyak sekali kasus gangguan pernapasan masyarakat yang tinggal di sekitar lahan gambut.

Di Indonesia terdapat Lahan gambut sekitar 3%. Sejarah isu gambut mencuat karena dibangkitkan oleh orde Baru. Tahun 1984 Negara Indonesia dianggap sebagai negara dengan swasembada beras. Namun, seiring berjlanannya waktu terus terjadi konversi lahan yang menyebabkan penyusutan lahan dan menurunkan produksi beras. Pemerintah menggunakan kajian Analisis mengenai dampak lingkungan (AMDAL) yang dilakukan oleh Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (PPLH) IPB sebagai justifikasi bahwa konversi lahan gambut layak untuk dilaksanakan. Jaman Presiden Suharto terdapat tiga departemen yang bertanggungjawab dalam konversi lahan gambut meliputi, pekerjaan umum, transmigrasi, dan pertanian dan terdapat empat aspek yang menjadi alasan inisiasi konversi lahan gambut. Salah satunya adalah petani transmigran di Kalimantan Tengah (kalteng) sebagai pelaksana proyek.

Menurut Dr. Agr. Sc. Hagus Tarno, SP., MP selaku Tim Penelitian Lahan Gambut dengan Badan Restorasi Gambut, “Pembukaan lahan bolehsaja dilakukan karena sudah banyak praktek budidaya lahan gambut yang sesuai terutama adanya praktek konservasi lahan. Perlu dilakukan perubahan paradigma agar petani sebagai subjek bukan objek. Agar petani dapat menentukan kegiatan budidaya yang akan dia lakukan. Saya berharap perubahan paradigma pemerintah terutama kementan agar mengarah ke lingkungan hidup.”

Pada masa orba, konversi lahan dilakukan akibat kekhawatiran akan kekurangan pangan. Pembukaan lahan memberikan dampak pada berbagai aspek. Pada era Jokowi mulai memperhatikan lahan gambut setelah banyak muncul dampak negatif kebakaran lahan gambut. Oleh karena itu, dibentuk Badan Restorasi Gambut (BRG). Restorasi gambut pada zaman orba dan zaman sekarang berbeda. BRG  mengajak kontribusi dengan kementerian terkait, masyarakat hingga lembaga swadaya masyarakat sehingga adanya irisan dalam kegiatan restorasi gambut.

“Cetak sawah ini untuk siapa? Dan siapa yang menerima manfaat paling besar? Mulai dari proses dari awalnya seperti setidaknya butuh 300.000 petani.Ini berkaitan dengan politik pangan. Kita harus melihat, cetak sawah ini berkaitan dengan membangkitkan proyek-proyek bagi korporasi. Akan tetapi hal ini dapat berpotensi mincederai reforma agrarian yaitu monopoli agrarian.” Pungkas Mohammad Izzuddin

“Saat ini kita mengalami krisis agrarian dan adanya ketimpangan lahan. Tidak sampai 1 % warga menguasai kebanyakan lahan di Indonesia. Sudah banyak proyek-proyek yang terjadi menyebabkan krisis ekologi. Hal ini dapat mendukung terjadinya gagal panen. Sering kali seiring berjalannya rezim, masyarakat termarjinalisasi dari akses alat2 produksi tani seperti tanah dan lain-lain.” lanjutnya

Pramana: lahan gambut yg dibuka saat ini, setelah kondisi sudah normal, kemana lahan gambut ini? Dan apa solusi yang tepat untuk kondisi ini?

Mohammad Izzuddin: seperti proyek-proyek yang telah dilakukan, yang perlu diperhatikan yaitu bagaimana proses cetak sawah ini. Perlu ada gerakan nasional berupa penanaman pangan di daerah desa ataupun perkotaan. Jika dilihat lagi, adanya monopoli sumber2 agraria sehingga adanya ketimpangan agrarian saat ini. Alih fungsi lahan ini juga termasuk ke dalam hal tersebut. PTPN dan hutan yang tak berfungsi sebagai tutupan lahan pun, masih ada lahan yang tidak dimanfaatkan maka ini yang dapat digunakan dalam menjaga ketahanan pangan. ini adalah jawaban bahwa mulai dari orba hingga saat ini pemerintah masih menarasikan beras menjadi pangan pokok.

Baiq: Saya ingin bertanya kepada Bapak Hagus. Jika tadi jelaskan bahwa pada masa orde baru terdapat penolakan dari para ilmuwan terkait realisasi PLG Sejut Hektar di Kalimantan Tengah, namun terdapat penelitian PPLH IPB terkait amdal yang pada akhirnya dijadikan sebagai landasan. Nah, untuk masa pemerintahan sekarang Pak, bagaimana upaya sinkronisasi antar lembaga-lembaga pendidikan, ataupun Badan Restorasi Gambut agar output yang dihasilkan bisa satu suara Pak? Terimakasih.

Pak Hagus: cerita pada zaman pak Harto, penolakan pembukaan lahan gambut oleh peneliti sudah lama, akan tetapi adanya modifikasi di AMDAL sehingga kegiatan pemerintah tidak bertentangan dengan kajian ilmiah. Sekarang yang dilakukan yaitu bagaimana lembaga lembaga akademik memiliki moralitas dan menghindari iming-iming. Selain moral, mental peneliti juga harus dikuatkan. Tidak semua akademisi kuat mentalnya, kebanyakan jika diberi dana dan proyek besar akan membereskan hal tersebut. Kalau dari kementan sepertinya ada rencana. BRG sebenarnya non departemen yang dibawah presiden. Sementara kementan memiliki kaki tangan yang panjang. Pak jokowi cenderung kurang yakin dengan kinerja kementerian sehingga sering langsung turun tangan untuk memantau. Sebelumnya saya pernah mengikuti rapat BRG di Riau dengan membahas praktek budidaya yang jelas. Konsep pengembangan yang diberikan, untuk memberikan pilihan bertani dengan pendekatan yang benar. Bersamaan, ada rapat korporasi yang memiliki konsep yang berbeda dengan BRG. Yang menjadi tantangan pada pak Jokowi yaitu dengan menggandeng desa peduli gambut

Kementan sangat dekat dengan korporasi. Pestisida dan pupuk sintetik berkaitan dengan korporasi sehingga kementan sering memberikan gebrakan yang kurang peduli petani. Kementan memberikan subsidi kepada korporasi tsb tetapi lebih baik jika subsidi tersebut dialihkan pada penentuan harga produk pertanian pada petani.

Alfi: saya ingin bertanya kepada Pak Hagus, apabila benar benar telah dilakukan alih fungsi lahan gambut tersebut, bagaimana seharusnya perlakuan yang dilakukan ke tanah gambut tersebut agar tidk terjadi kerusakan lingkungan? apakah bisa persawahan di lahan gambut dapat berproduksi seperti pada lahan biasanya?

Pak Hagus: boleh alih fungsi lahan tetapi dengan konsep yang benar dan tanpa ada pengurangan debit air dan tidak menghilangkan fungsinya. Lahan gambut beberapa menjadi lahan pertanian tetapi tidak dengan tanaman padi. Umumnya nanas, lidah buaya dan, tanaman nuah lain.

Yosua: Saya ingin bertanya ke Pak Hagus, apakah seluruh jenis lahan gambut tidak bisa dijadikan lahan pertanian? satu kasus yang saya tahu, jika terjadi musim kemarau panjang di daerah saya sendiri di Kalbar bahkan bisa menyebabkan kebakaran tanpa ulah manusia, atau murni faktor alam. Apakah dengan mengkonversikan lahan gambut yg cenderung mudah terbakar menjadi lahan pertanian bisa mencegah musibah kebakaran hutan?

Pak Hagus: boleh konversi jadi sawah tetapi harus berbasis pada komoditas endemis. Potensi kebakaran sangat besar karena bahan organik yang dimiliki.Potensi terjadinya kebakaran pada lahan gambut besar apabila kondisi tata air pada lahan gambut tidak memenuhi batas minimal… Lahan gabut akan mudah terbakar apabila level air nya rendah…

Mas Yosua: kepada Mas M. Izzuddin: Jika lahan gambut dikonversi menjadi lahan pertanian, apakah petani transmigran dan petani lokal dapat diberikan bekal ilmu, ekonomi dan teknologi untuk menjadi petani ahli di lahan sawah bekas lahan lambut? Atau apakah sudah ada contoh kasusnya Pemerintah Orba telah berhasil dalam memanajemen petani transmigran dan petani lokal pada lahan sawah hasil konversi lahan gambut? sehingga dapat kita ambil nilai positifnya dan kita buang nilai negatifnya untuk masa kini.

Mohammad Izzudin: berkaitan dengan keterampilan petani atau transmigran harus diberikan oleh pemerintah yang membuat proyek tsb. semua kegiatan tsb harus terintegrasi dengan reforma agraria. Dalam suatu rencana megaproyek saat ini bekerja dengan masfia-mafia tanah. Akan teap ada monopoli-monopoli baru. Kegiatan ini harusnya diberikan kepada masyarakat dengan sistem retribusi. Potensi migrasi pada tempat tersebut sangat besar tetapi tidak dipertimbangkan dengan mafia-mafia tersebut.

Transmigran saat ini juga masih belum mendapat hak-haknya serta petani juga masih mendapatkan kriminalisasi. Yang menjadi prioritas yaitu seharusnya memperhatikan posisi petani sebagai garda terdepan agar krissi pangan ini terjadi. Sebaiknya perlu adanya regenerasi dan perekrutan petani muda desa.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

error: Maaf konten ini merupakan hak cipta kami. Untuk menduplikasi karya ini dapat menghubungi kami di redaksi@persmacanopy.com