Quarter Life Crisis
Sadar tidak sadar, kehidupan ini terus berjalan yang entah kapan akan berhenti. Ketika masih pada fase kanak-kanak, kita suka berlari-larian di sekeliling komplek rumah. Namun seiring berjalannya waktu kita mulai mengenal cinta monyet saat mengenakan seragam putih abu-abu. Dari fase remaja seringkali kita berharap untuk cepat menjadi orang dewasa. Mengimajinasikan kehidupan orang dewasa yang bebas dari kekangan orang tua dan terhindar dari tugas-tugas sekolah yang melelahkan. Namun, pada saat kita mulai melangkah ke masa transisi menjadi seorang dewasa, akankah kita menyesali pemikiran kita terdahulu?.
Fase transisi remaja ke dewasa sangat lazim dirasakan oleh setiap orang. Fase ini disebut dengan istilah emerging adulthood yang pertama kali dicetuskan oleh Jeffrey Jensen Arnett pada tahun 2000 silam. Arnett menjelaskan bahwa periode ini ditandai dengan adanya perubahan dan eksplorasi diri manusia, di mana mereka menilai posibilitas kehidupan yang terbuka padanya hingga pada tahap pilihan jangka panjang dalam masalah percintaan, pekerjaan dan pandangan terhadap dunia. Ini juga yang memicu terjadinya ketidakstabilan. Transisi untuk menjadi orang dewasa ini kemudian mengantarkan kita ke pemikiran yang berorientasi pada masa depan.
Tanner (2008) menjelaskan bahwa pada fase emerging adulthood ini manusia tidak ingin dianggap sebagai anak-anak lagi, tetapi di lain sisi mereka juga merasa masih belum pantas bila dinilai sebagai orang dewasa. Emerging adulthood memang dapat dimaknai secara positif, namun munculnya ketidakstabilan emosional dapat memicu terjadinya stress, kegalauan dan kecemasan. Hal-hal ini kemudian dapat menimbulkan permasalah psikologis yang belakangan ini ramai dibicarakan, yaitu Quarter Life Crisis.
Apa itu Qurter Life Crisis?
Kalian mungkin bertanya-tanya, apa itu Quarter Life Crisis? Berdasarkan Herawati (2020), QLC merujuk pada hal yang berkaitan dengan tahap perkembangan emosional manusia. Jika diartikan secara harfiah, QLC juga berarti krisis seperempat abad, namun QLC ini tidak serta merta secara harfiah harus dilalui pada saat umur 25 tahun, sebaliknya QLC umumnya muncul pada individu yang berusia 18 hingga 29 tahun (Sujudi, 2020).
Sebenarnya, masa QLC bagi sebagian orang tidaklah mengerikan seperti yang diberitakan dalam media. Malahan QLC dapat menjadi titik balik kehidupan yang menyenangkan dimana individu memiliki kesempatan untuk mencoba probabilitas untuk memperoleh makna kehidupan yang lebih dalam. (Nash dan Murray, 2010). Sisi negatifnya terjadi apabila seseorang yang menghadapi masa QLC dengan perasaan panik, penuh tekanan, insecure dan tidak bermakna. Bisa saja orang lebih sering lebih sering membandingkan diri dengan pencapaian orang lain. Munculnya rasa kecewa pada diri sendiri akibat adanya jarak yang besar antara imajinasi yang indah dengan dunia nyata yang pedih. Entah dari segi finansial, pendidikan, kondisi sosial hingga percintaan. Berbagai tuntutan diciptakan sendiri untuk bisa mencapai posisi A atau mendapatkan B, menyebabkan diri harus selalu merasa mengemban rasa bertanggungjawab atas segala hal.
Rasanya Terjebak di Quarter Life Crisis
Fenomena QLC juga dirasakan oleh awak Canopy. Shanti (20) menceritakan bagaimana mulanya ia mengalami QLC pada awal 20an. Ia menuturkan bahwa merasa salah jurusan akibat penolakan PTN yang diinginkan menyebabkan stress dan tertekan dalam menjalani masa kuliahnya. Namun, menurutnya tidak ada pilihan lain selain bertahan untuk menjalani kehidupan karena merasa sayang dengan biaya yang telah dikeluarkan untuk perkuliahan.
Berbeda halnya dengan Shanti, seorang anggota Canopy bernama Hanif (20) menuturkan bahwa ia mengalami kebingungan akan masa depan setelah perkuliahan. Ia merasa bahwa di jurusan saat ini bukanlah minatnya sehingga sampai sekarang belum ada gambaran terhadap prospek kerja kedepan.
Tanda dan Cara Mengatasi
Tanda-tanda quarter life crisis menurut Herawati dan Ahmad (2020):
- Seseorang merasa tidak mengetahi keinginan dan tujuan hidup
- Ketika memasuki usia 20-an, kehidupannya tidak sesuai dengan ekspektasinya
- Takut akan kegagalan
- Tidak dapat merelakan masa kecil dan remaja telah berakhir
- Suka membandingkan pencapaiannya dengan pencapaian orang lain sehingga membuatnya menjadi minder
Cara mengatasai QLC menurut Satu Persen:
- Mengenali diri sendiri lebih dalam
Mengenali diri sendiri dapat dilakukan dengan memberikan berbagai pertanyaan yang berkenaan dengan diri sendiri, dengan begitu akan lebih mengenal diri sendiri.
- Membuat perencanaan dalam 5 tahun kedepan
Membuat berbagai perencanaan dengan tujuan untuk menggapai mimpi, dengan adanya perencanaan tersebut membuat hidup lebih fokus dalam mengejar memipi.
- Menyadari bahwa setiap orang akan datang dan pergi dari kehidupan kita
Semakin berjalannya waktu, setiap orang akan datang dan pergi dari kehidupan kita, jadi kita ga perlu khawatir lagi soal itu. Meskipun demikian hidup harus terus berjalan.
- Membatasi penggunaan media sosial
Adakalanya media sosial membuat kita menjadi insecure karena kebanyakan orang menunjukkan kesuksesan, paras muka dan kehidupannya yang bahagia. Sehingga tidak menutup kemungkinan kita akan membanding-bandingkan diri kita dengan orang lain. Memanding-bandingkan diri dengan orang lain kan bukan hal yang baik, jadi lebih baik kamu membatasi penggunaan sosmed.
Referensi
Arnett, J.J. 2004. Emerging Adulthood: The Winding Road From the Late Teens Through the Twenties. New York : Oxford University Press.
Herawati, Icha dan Ahmad Hidayat. 2020. Quarterlife Crisis pada Masa Dewasa Awal di Pekanbaru. Journal An-Nafs: Kajian Penelitian Psikologi: 5(2): 145-156.
https://satupersen.net/blog/quarter-life-crisis-bagaimana-kamu-menghadapinya
Nash, R.J., Murray, M.C., 2010. Helping College Students Find Purpose : The Campus Guide to Meaning-Making. San Fransisco : Jossey Bass.
Sujadi, M. A. 2020. Eksistensi Fenomena Quarter Life Crisis pada Mahaiswa Semester Akhir Universitas Sumatera Utara. Medan. Universiras Sumatera Utara
Tanner, J.L, Arnett, J.J, Leis, J.A, 2008. Emerging Adulthood: Learning Development During the First Stage of Adulthood. Chapter 2 (pp. 34-67). In M. C Smith & N. DeFrates-Densch (Eds.), Handbook of research on adult development and learning. Mahwah, NJ : Lawrence Erlbaum.
Penulis: Yuliastuti Yasmin dan Shanti R.P
Editor: Fitrotun Nisa
Gambar diperoleh dari baktinusa.id