SANG ALGOJO
“…September ceria, September ceria, September ceria, September ceria milik kita bersama…” Irama musik lagu muncul dari sebuah radio butut yang senantiasa memecah suasana hening tengah malam. Lagu itu memang sedang populer. Radio butut itu milik Pak Cahyo, ia sengaja membawa radio butut itu untuk menemani shift malamnya. Di ruangan sempit dengan pencahayaan seadanya, Pak Cahyo duduk hingga fajar tiba. Sesekali ia memandangi area sekitar dan sesekali ia terlelap. Beginilah pekerjaan Pak Cahyo sebagai satuan pengamanan (satpam) di salah satu rusunawa di tengah kota.
Malam terasa begitu sepi, hanya ada suara dari radio yang bahkan tidak dihiraukannya. Matanya terpejam sesaat karena kantuk yang hebat diatas meja, tiba-tiba tersentak oleh sapaan seorang lelaki.
“Permisi, Pak Cahyo.” sapa seseorang
“Iya mas, silahkan.” jawab lesu Pak Cahyo dengan nada masih terkantuk.
Lelaki itu salah satu penghuni rusunawa. Dengan tubuh cukup bidang dan potongan cepak, ia berjalan menjauh dari pos satpam. Penghuni-penghuni lain berkata bahwa lelaki tersebut berkerja di salah satu instansi kemiliteran, namun tidak ada yang tahu pasti pekerjaan aslinya. Kepribadiannya juga cukup tertutup. Setahu Pak Cahyo, lelaki itu tidak pernah terlihat menggunakan seragam ala-ala kemiliteran. Apabila hendak keluar, pakaian yang dikenakan serba hitam ditambah dengan topi dan masker yang tidak pernah absen menutupi wajahnya.
***
“Berita tengah malam. Seorang bocah berumur 7 tahun ditemukan tewas dianiaya oleh orang tuanya sendiri. Bocah malang itu bernama Arie Henggara…” suara dari radio butut kembali terusik oleh sapaan lelaki itu. Sama seperti hari-hari sebelumnya, dia selalu menyapa Pak Cahyo ketika hendak pergi keluar. Entah ini ke berapa kalinya lelaki itu keluar tengah malam seperti ini. Rasa penasaran menghampiri pikiran Pak Cahyo.
“Permisi ya, Pak Cahyo”
“Mau kemana mas tengah malam gini? Apa tidak takut keluar jam segini sendirian?” tanya Pak Cahyo dengan nada menggoda.
“Oh tidak kok Pak, cuman ingin jalan-jalan saja dan cari udara malam,”
“Saya duluan ya, Pak Cahyo.” Tambah si lelaki.
Lelaki tersebut berjalan menjauh dari pos satpam. Dalam sekejap, lelaki tersebut hilang ditelan gelapnya malam. Keheningan kembali menyelimuti ruangan, diiringi dengan suara dari radio yang tak dihiraukan Pak Cahyo. Ia memilih untuk segera memejamkan mata.
***
“…telah terjadi pencurian di salah satu toko emas di daerah..” Langkah sepatu berlaras terdengar mendekati pos. Tidak lain dan tidak bukan, lelaki tersebut kembali muncul. Dia hendak pergi sama seperti malam-malam sebelumnya. Pak Cahyo yang sadar akan itu, mencoba untuk menegur terlebih dahulu dan menjawab rasa penasarannya.
“Malam mas, malam ini mau kemana lagi mas? Kok saya lihat akhir-akhir ini sering keluar tengah malam begini?” tanya Pak Cahyo.
“Malam, saya permisi, Pak.” Jawabnya singkat.
Lelaki tersebut tampak terburu-buru. Ia bergegas meninggalkan Pak Cahyo tanpa menghiraukan pertanyaan yang dilontarkan. Ia berjalan tergesa-gesa kemudian hilang Bersama gelapnya malam.
Lantunan ayat-ayat pujian sudah terdengar, pertanda matahari sedang bersiap untuk menunjukan tajinya. Pak Cahyo mulai berberes dan bersiap kembali ke rumah. Seperti biasa, ia menyempatkan membeli makan untuk sarapan sebelum sampai di rumah. Kering tempe, tahu dan sayur-sayuran menjadi menu andalannya. Warung makan kesukaannya tidak jauh dari rumahnya, di sebelah pasar. Gang-gang sempit nan gelap menjadi jalur Pak Cahyo menuju warung makan, maklum hari masih terbilang sangat pagi.
Dari kejauhan pasar terlihat sepi. Orang-orang berkumpul pada satu titik dan sedang melingkari sesuatu. Pak Cahyo yang penasaran segera mendekat. Seorang lelaki tewas tergeletak bersimbah darah dan penuh luka. Tato-tato ditubuhnya penuh dengan sayatan benda tajam hingga tak berbentuk. Dahinya berlubang dan darah masih mengucur. Sungguh mnegenaskan
Menurut orang sekitar, lelaki itu bernama Nyoto, salah satu preman di pasar. Meskipun beberapa orang menyebutkan bahwa dia sering membuat onar di pasar, namun sungguh keji dia harus tewas dengan cara seperti ini. Diduga dia tewas saat tengah malam, ketika aktivitas di pasar belum terlalu padat. Pelakunya sama sekali tidak ditemukan. Mayatnya dibiarkan tersungkur di tempat dan dia diperlakukan dengan keji. Sungguh kejadian ini menjadi teror bagi orang-orang sekitar.
***
“Berita malam ini, ratusan mahasiswa dan buruh melakukan demo di Gedung Pemerintah pada senin pagi hari. Mereka menyuarakan protes atas kebijakan yang baru saja disahkan, dan mengecam tindakan korupsi serta .…” suara dari radio diruangan Pak Cahyo. Namun seperti biasa, beliau tertidur di shift malamnya.
Seketika Pak Cahyo terbangun, kali ini bukan dari sapaan seorang lelaki melainkan, suara letupan terdengar nyaring di telinga Pak Cahyo. Suara itu terdengar sekitar beberapa blok dari rusunawa tempat ia berjaga.
Lengkap dengan tongkat dan senter, Pak Cahyo mencoba mencari tahu asal muasal suara itu. Dirinya mencoba untuk mempercepat langkah agar tidak melewatkan momen yang sedang terjadi. Beberapa blok dari rusunawa, di bawah lampu yang temaram, ada orang yang tergeletak jatuh dan sudah bersimbah darah. Tak jauh dari sana, berdiri bayangan seseorang.
Sadar akan keberadaan Pak Cahyo, orang tersebut sontak melarikan diri. Dengan sigap Pak Cahyo mengejarnya, dan menyempatkan melihat keadaan orang yang terjatuh tersebut. Orang itu sudah tidak bernyawa, lehernya berlubang, dahinya pun begitu. Wajah mayat itu terlihat penuh aura keberanian dan terlihat masih muda, namun naas dia harus tewas dengan cara yang keji.
Orang berbaju hitam itu kabur dengan gesit, di belakangnya Pak Cahyo tetap gigih mengejar. Sudah menjadi kewajibannya sebagai satpam. Ia berharap bisa menungkap siapa sosok berbaju hitam ini? Siapa orang yang barusan ia bunuh? Mengapa mereka tega melakukan hal keji seperti ini? Siapa yang menyuruh mereka? Dan apa motifnya?
Orang berbaju hitam akhirnya berhenti di ujung jalan. Jalan buntu. Dia tidak bisa lagi melarikan diri.
“Cepat angkat tangan dan berlutut.” tegas Pak Cahyo sembari mengarahkan senter ke orang berbaju hitam.
Di balik cahaya santer, muncul perawakan yang cukup familiar di penglihatan Pak Cahyo. Orang berbaju hitam itu adalah penghuni rusunawa. Lelaki yang tak pernah absen menyapa dirinya ketika hendak pergi. Lelaki yang akhir-akhir ini sering pergi tengah malam berkostum serba hitam. Lelaki yang katanya berkerja di intansi kemiliteran, namun bagaimana bisa bekerja di intansi kemiliteran tapi malah menewaskan orang?
Suara khas burung pada malam hari itu mendadak berhenti, lalu terbang menjauh. Hembusan angin malam serasa berhenti sesaat. Suara letupan itu muncul lagi. Namun kali ini begitu nyaring, tepat berada di depan Pak Cahyo. Peluru api bersarang sejenak hingga menembus kepalanya. Pak Cahyo tergeletak di ujung jalan. Satu peluru api sudah cukup untuk menghancurkan tengkorak kepala dan menewaskannya. Darah tercecer disekitar tubuh Pak Cahyo. Lelaki tersebut menyeret tubuh Pak Cahyo. Menyeretnya pergi. Pergi menjauh.
Hari mulai pagi, matahari telah sedikit menampakan keberadaannya. Saat ini, Malam-malam berikutnya, Pak Cahyo tak akan ada lagi di ruangannya, kini bukan lagi shift-nya. Pak Cahyo benar-benar tak akan kembali.
“…angka kriminal di ibukota dan sekitarnya disinyalir mengalami penurunan, apresiasi perlu disematkan untuk instansi pertahanan negara yang dengan baik mampu menjaga stabilitas negara…” suara radio terdengar dari ruangan Pak Cahyo. Lelaki tersebut kembali. Kembali ke rusunawa. Namun, kali ini ia kembali dengan membawa dua buah kresek hitam besar di tangannya.
Penulis: Dika Lana
Editor : Shanti Ruri Pratiwi
Gambar bersumber daru pixabay.com