Involusi Pertanian dalam Kajian Kritis Alih Fungsi Lahan
“… jaman sekarang itu lebih kapitalistik daripada jama Orba dulu…”
Alih fungsi lahan menjadi bahasan yang diambil dalam diskusi kajian pertanian yang diadakan oleh BEM FP UB dalam rangka menyambut hari tani yang akan datang. Bertempat di panggung LKM FP UB hari ini yang dimulai pukul 16.00 WIB, mengundang dua pemateri dari Aliansi Petani Indonesia yaitu Muhammad Nur Uddin dan dari Front Nahdliyin untuk Kedaulatan Sumber Daya Alam & Intrans Institut yaitu In’amul Mushoffa.
Kajian ini dibuka oleh Fajar selaku moderator diskusi, ia memaparkan sedikit permasalahan yang akan dibahas kemudian oleh para pemateri menyoal alih fungsi lahan. Muhammad Nur Uddin menjadi yang pertama menyampaikan materi soal alih fungsi lahan ini. Ia menerangkan bahwa petani merupakan tuannya negara.
“Jika kita melihat kesebelasan Barcelona, kesebelasan Sevilla pemainnya sehat-sehat, taman kotanya penuh dengan pengairan yang ada sumber air mancurnya, itu dulu memang sumber kekayaannya dari pertanian” tutur Muhammad Nur Uddin.
Hal itu menjelaskan bahwa suatu negara yang besar tidak akan meninggalkan pertanian. Kota malang sendiri laju depetanisasi yang dipaparkan Muhammad Nur Uddin dalam 5 tahun terakhir hampir 800 hektar terkonversi menjadi non pertanian, contohnya bisa menjadi kawasan perumahan, industri, dan lainnya.
“Jika ditelusuri, 800 hektar itu dikuasai oleh orang kaya perkotaan,” tuturnya menambahkan permasalahan yang ada di Kota Malang ini.
Muhammad Nur Uddin juga memaparkan dalam teori pertanian fungsi tanah itu mempunyai dua fungsi, yaitu fungsi sosial dan fungsi ekonomi. Bahwa, tanah itu merupakan kebudayaan inti dari yang namanya suku bangsa. Ia memaparkan soal fungsi tanah yang begitu penting dalam suatu kebudayaan yang mendomestifikasi suatu tanaman pangan.
“Jika fungsi tanah lebih mengedepankan nilai ekonomi itu yang dimaksud dengan malthusian,” ucap Muhammad Nur Uddin dalam memaparkan kondisi pertanian dewasa ini.
Malthusian yang dimaksud adalah sebuah teori jika penduduk itu tidak ada batasan, maka akan berkembang biak dengan cepat, dan pada hakikatnya manusia memerlukan makanan. Jadi teori malthusian ini menyatakan laju pertumbuhan penduduk lebih cepat daripada laju pertumbuhan pangan.
“Luas lahan panen yang disebut pak Amran seluas 17 juta hektar, setiap tahun terkonversi menjadi fungsi lain akibat kebijakan otonomi daerah yang tidak memandang petani sebagai kelas sosial yang layak dihormati,” tutur Muhammad Nur Uddin.
Jadi luas lahan panen seluas 17 juta hektar itu harus mencukupi kebutuhan pangan sejumlah 260 juta manusia di Indonesia, maka itu yang disebut dengan laju pertumbuhan penduduk lebih cepat daripada laju pertumbuhan pangan yang disokong hanya dari luas lahan 17 juta hektar tersebut.
Selain itu Muhammad Nur Uddin juga membahas soal krisis regenerasi petani yang sedang dialami Indonesia akhir-akhir ini. “Ngapain jadi petani, jadi petani itu susah,” sindirnya kepada para pemuda sekarang yang lebih memilih bekerja selain bidang pertanian karena lebih tergiur gaji yang lebih pasti.
Materi selanjutnya dipaparkan oleh In’amul Mushoffa, ia mengatakan bahwa di media-media pemerintah maunya ketahanan pangan. Menurutnya kurang tepat penyebutan ketahanan pangan, namun bagi orang awan itu menyenangkan, lalu seolah-olah pemerintah pro petani. Ia juga menuturkan bahwa kondisi pertanian sekarang itu sudah tidak mungkin lagi untuk mencapai ketahanan pangan apalagi kedaulatan pangan, karena lahan cuma 17 juta hektar untuk mencukupi kebutuhan pangan sejumlah 260 juta penduduk Indonesia. Selain itu tambahan permasalahan lagi adalah jumlah petani kian tahun kian menyusut yang disebabkan oleh berpindahnya pemuda desa yang merantau ke kota.
Ia juga menegaskan bahwa tanah itu tidak hanya dilihat dari segi ekonomi saja namun juga dari segala aspek kehidupan, “Gak ada tanah kita gak bisa belajar begini” paparnya. Ia juga menambahkan bahwa kenapa tahun 1960-an dibuat undang-undang pokok agraria, karena dikutip dari perkataan soekarno, kemerdekaan tanpa reforma agraria, maka sama dengan gedung tanpa alas, juga pohon tanpa batang, jadi kemerdekaan tanpa reforma adalah sama sekali tidak ada artinya.
Kemudian pada era Orde Baru (Orba) mulai masuknya kapitalisme di Indonesia sehingga memaksa adanya kebijakan-kebijakan yang sangat kapitalistik, In’amul Mushoffa juga menyatakan, memang ada kebijakan swasembada pangan, akan tetapi yang perlu dicatat adalah mungkin orang bangga dengan swasembada pangan, namun jika dilihat proses, kesimpulannya adalah tidak mengurangi persoalan-persoalan kemiskinan yang didera oleh para petani, bahkan semakin mempertajam kesenjangan-kesenjangan sosial ekonomi yang ada di Indonesia.
Terakhir, In’amul Mushoffa menjelaskan soal pertumbuhan ekonomi yang diukur dari tahap konsumsi tinggi, “Kalau kita konsisten, hanya untuk mencukupi kebutuhan itu kira-kira gak masuk pertumbuhan ekonomi,” tuturnya. Akan tetapi jika kita semakin banyak belanja di mall belanja di supermarket dan sebagainya, konsumsinya tinggi maka ekonominya semakin tumbuh. Kutipan terakhirnya menyatakan bahwa jaman sekarang itu lebih kapitalistik daripada jama Orba dulu.
Reporter: Pramana Jati P.