Kilang Minyak, Megaproyek Pertamina dengan Rosneft dan Perjuangan Warga Mempertahankan Ruang Hidupnya
Puluhan tahun yang lalu, angin semilir masuk ke jendela rumah, gubuk, dan sawah petani di pedesaan. Angin semilir tersebut merupakan Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria. Reforma Agraria dimaknai sebagai upaya negara untuk menciptakan pemerataan sosial-ekonomi di berbagai lapisan masyarakat. Namun seiring waktu bergulir, bangsa semakin dihadapkan pada fenomena ketimpangan penguasaan dan kepemilikan tanah oleh sebagian bahkan hanya segelintir orang. Apakah si Angin semilir masih menyejukkan atau malah menjadi puting beliung yang menghancurkan ruang hidup petani?
Dalam salah satu pidato kenegaraan, Bung Karno menyerukan konsep tanah untuk para penggarap tanah. Presiden Indonesia saat ini, Jokowi, juga menggaungkan program Reforma Agraria. Akan tetapi, nyatanya konflik perampasan ruang hidup rakyat masih banyak terjadi di berbagai daerah. Alih fungsi lahan dengan dalih pembangunan dan kesejahteraan bersama menjadi momok yang kian mengerikan.
Tanah subur kabupaten Tuban bukan pengecualian di mata oligarki. Daerah yang terkenal akan para wali, laut, dan pantai ini menyimpan permasalahan pelik yang menimpa warga lokal. Ekspansi industri yang dimulai sejak 1980-an hingga saat ini berdampak pada warga Desa Sumurgeneng dan Desa Wadung, Januari 2019 lalu. Ancaman pembangunan kilang minyak dari salah satu perusahaan besar di Indonesia, Pertamina yang bekerja sama dengan perusahaan asal Rusia, Rosneft, menyasar tanah mereka.
Sejarah Desa Sasaran Pembangunan Kilang Minyak
Dilansir dari situs resmi desa Sumurgeneng, desa ini dibangun oleh pengembara bernama Angga Wijaya. Ketika dia kesulitan mendapatkan air, istrinya mengusulkan untuk membangun sumur. Angga Wijaya berhasil menemukan mata air dan membangun sumur di kawasan hutan jati yang sangat lebat. Volume air yang begitu melimpah dan seiring bertambahnya penduduk, sumur itu pun menjadi sumber mata air yang dianggap penting karena memasok kebutuhan air warga.
Desa Sumurgeneng, semenjak pendiri desa wafat diadakan sedekah bumi untuk mendoakan arwah leluhur. Tradisi yang diiringi hiburan langen tayub ini berlangsung secara turun temurun. Sementara itu, sumur yang menjadi ikon desa Sumurgeneng masih terawat dengan baik. Entah sampai kapan sumur dengan air berlimpah tersebut masih ada setelah adanya rencana pembangunan kilang minyak ini.
Ledakan Kabar Pembangunan Kilang Minyak
“Loh … mau ada kilang kok gak onok omong-omongan disek, terus maringono masyarakat yoopo? Kilang mau di sini nanti kan ada penggusuran, terus akhirnya ribut,” keluh Munasih, warga Sumurgeneng, dengan maksud bahwa rencana pembangunan kilang minyak tidak diawali dengan pemberitahuan maupun sosialisasi ke warga setempat.
Tengah malam (08/01) warga dihebohkan dengan kedatangan polisi, pihak Pertamina, dan perangkat desa yang mengantar undangan konsultasi publik rencana pembangunan kilang minyak. Dari sekitar 400 undangan hanya 150-an undangan yang disebarkan, padahal konsultasi publik diagendakan pada 9 Januari 2019 pukul 10.00 WIB. Dari 150-an undangan itu pun, warga yang menghadiri konsultasi di Balai Desa sekitar 40 orang. Munasih mengatakan bahwa terdapat warga yang tidak mau tanda tangan dan masuk ruangan sehingga di luar Balai Desa ramai akan suara penolakan serta bentangan spanduk. Sementara, konsultasi publik dikawal oleh ratusan polisi dan Tentara Nasional Indonesia (TNI).
Guncangan yang dialami warga menginisiasi mereka untuk menggalang tanda tangan penolakan. “Kami dapat sekitar 4.121 tanda tangan, itu juga terburu-buru karena ingin cepat tersampaikan. Kepala Desa sendiri juga membuat surat penolakan. Kemudian, 17 Januari 2019 surat tersebut dikirim ke 12 instansi seperti pemerintah provinsi (pemprov), Komnas HAM, Presiden RI, Dewan Ketahanan Nasional, Menteri ESDM, Menteri KLHK, Menteri Kelautan dan Perikanan, serta Direktur utama PT Pertamina,” cerita Munasih. Khusus untuk Pemprov, surat diantar langsung oleh warga sedangkan sebelas instansi lain dikirim melalui Kantor Pos Surabaya.
Hingga tanggal 29 januari belum ada satu pun jawaban, sehingga warga menggelar aksi di depan gedung Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Tuban. Jumlah massa aksi mencapai 2.500 orang. Namun, aksi tidak mendapat tanggapan sesuai harapan. Anggota DPRD yang menemui massa aksi adalah seorang anggota Dapil lain. Selebihnya, justru beralasan sedang panggilan kerja sehingga warga dijanjikan aspirasi akan dirapatkan. Hampir setiap hari warga mengecek balai desa untuk mewaspadai keberadaan tempelan penetapan lokasi (penlok). Mereka melakukan hal ini secara bergantian, bahkan sampai menginap di Balai Desa.
Apa yang warga resahkan terjadi pada tengah malam 1 Februari 2019. Penlok ditempel di kantor kecamatan padahal semua warga sepakat menolak. Lebih mengherankan, penlok tersebut dikeluarkan tertanggal 10 Januari 2019 alias 1 hari pasca konsultasi publik. “Kok ada penlok turun, padahal kan warga menolak, kepala desa juga menolak,” gumam Munasih,
“Jadi itu kita pertanyakan, wong kepala desa sudah mengeluarkan surat penolakan kok sampek muncul penlok” imbuhnya. Warga merasa sudah dicurangi, tertanggal 4 Februari 2019 mereka mengirim nota keberatan penlok, yang akhirnya juga tidak ada respon dari pemerintah. Kemudian warga mengajukan gugatan ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN).
Bukan Pertama Kali Terjadi
Sebelum menargetkan Desa Sumurgeneng dan Desa Wadung, proyek yang sama terlebih dahulu mengincar Desa Remen yang berjarak dua desa dari Sumurgeneng. Dilansir dari Kumparan, pada 6 Juli 2018 warga Desa Remen dan Mentoso menggelar unjuk rasa di kantor Kecamatan Jenu, Kabupaten Tuban. Pada aksi tersebut para warga menanyakan terkait surat pernyataan bermaterai persetujuan pembebasan lahan untuk kilang New Grass Root Refinery (NGRR). NGRR merupakan megaproyek dari kesepakatan antara PT Pertamina dengan Rosneft.
“Pada 5 oktober lalu (tahun 2016), JVA (joint Venture Agreement) Tuban ditandatangani setelah melalui proses negosiasi 28 jam non stop dan momentum ini sangat bersejarah, termasuk dari Pertamina,” kata Hardadi selaku direktur megaproyek Pengolahan dan Petrokimia dikutip dari Bisnis.com.
Setelah kesepakatan dibentuk, PT Pertamina dan Rosneft langsung menyerahkan deposit sebesar US$ 200 juta sebagai bentuk keseriusan pelaksanaan proyek NGRR. Menurut Hardadi, kesepakatan ini penting bagi Pertamina dan ketahanan energi nasional yang sangat membutuhkan tambahan produksi migas untuk memenuhi kebutuhan energi yang semakin meningkat.
Kepala Desa Remen, Mentoso, dan Camat Jenu sudah menandatangani persetujuan pembebasan lahan NGRR tersebut. Warga menilai mereka menyalahi wewenang dengan melakukan pemalsuan surat pernyataan tanpa melibatkan warga. Di sisi lain, camat Jenu berdalih dia menandatangani surat tanpa mengetahui detail isinya. Surat keberatan dilayangkan warga Remen kepada berbagai instansi, yang kemudian terjun langsung ke lokasi.
Alhasil kemenangan diraih warga Remen sehingga Pertamina terpaksa angkat kaki. Pertamina mencoba melebarkan sayap ke Situbondo, tetapi gagal karena terlalu dekat dengan pangkalan TNI. Dua tahun sejak Pertamina meninggalkan Remen, perusahaan ini kembali ke Tuban dan menggeser target desa tetangga.
Perjuangan Melawan Kilang Minyak
Serangkaian perjuangan telah dilakukan, pada akhirnya warga Sumurgeneg dan Wadung mengambil jalur hukum, dengan penggugat atas nama Genduk dan 23 orang lainnya. Terdapat tujuh agenda sidang mulai 15 Maret 2019 (pembacaan gugatan), 18 Maret 2019 (Jawaban tergugat), 25 Maret 2019 (Pemeriksaan bukti surat atau tulisan penggugat dan tergugat), 28 Maret 2019 (Mendengar keterangan saksi penggugat dan tergugat), 1 April 2019 (Mendengar keterangan saksi ahli dan bukti lain yang berupa informasi elektronik atau dokumen elektronik), 4 April 2019 (Kesimpulan) dan agenda terakhir jatuh pada tanggal 15 April 2019 dengan agenda sidang pembacaan keputusan.
Pada sidang pertama, pihak kuasa hukum warga optimis akan memenangkan gugatan ke PTUN, dikarenakan semua pelanggaran yang dilakukan tergugat akan dibahas, seperti kemunculan penlok serta pelanggaran-pelanggaran lainnya. Apabila mengacu pada pasal 6 Undang-Undang Nomor 2 tahun 2012 Tentang Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum, menyatakan bahwa pengadaan tanah untuk kepentingan umum diselenggarakan oleh pemerintah dan pasal 7 ayat 2 yang menyatakan dalam hal pengadaan tanah dilakukan untuk infrastruktur minyak, gas dan panas bumi, pengadaannya diselenggarakan berdasarkan Rencana Strategis dan Rencana Kerja Instansi. Menurut kuasa hukum warga, Suwarto Darmandi yang dikutip dari Suara Tuban, menyatakan jika kilang minyak baru dikategorikan sebagai kepentingan umum apabila ada kegiatan usaha hulu migas, sedangkan di kecamatan Jenu sendiri tidak ada eksplorasi maupun eksploitasi minyak dan gas bumi. Menurutnya pendirian pabrik itu bukan untuk kepentingan umum.
Pemasangan patok yang dilakukan oleh pihak perusahaan membuat warga kurang nyaman. Hal ini disebabkan karena patok-patok yang dipasang meliputi tanah milik broker, tanah milik warga yang akan menjual ke Pertamina, bahkan tanah bengkok desa pun tak luput dari pematokan. Empat warga –Dwi Sutrisno, Slamet Winarto, Mohamad Amin dan M. Dzaenal Abidin mewakili warga pada 16 Maret 2019 hendak mencabut patok-patok tersebut. Mereka langsung diizinkan Kepala Desa sebab pemasangan patok tidak melalui izin terlebih dahulu ke kepala desa.
Selanjutnya, warga penolak kilang minyak berinisiatif menggelar aksi doa bersama dan tumpengan Bucu yang rencananya dilaksanakan pada 22 Maret 2019. Mengikuti prosedur kegiatan, mereka mengirim surat pemberitahuan ke Polsek Jenu satu hari sebelum acara digelar. Dua warga, Dwi Sutrisno dan Mashuri yang mengantarkan surat tersebut malah diantar ke Polres Tuban, dengan dalih Polsek Jenu tidak berani memberikan izin terkait kegiatan tersebut. Disana mereka malah ditahan atas dasar pengerusakan barang karena mencabut patok di lahan mereka sendiri. Kuasa Hukum warga, Mbah Warto –sapaan akrab warga dan ratusan warga meluruk Polres meminta agar Sutrisno dan Mashuri dibebaskan. Tuntutan ditolak dengan alasan akan diadakan mediasi pada Senin, 25 April 2019. Nyatanya, mediasi tidak dilaksanakan.
Upaya represi terhadap warga penolak kilang minyak sudah terjadi sebelum mereka mengajukan gugatan ke PTUN. Seperti terjadi pada Mbah Warto selaku kuasa hukum tidak lepas dari teror. Tanggal 6 Februari 2019 usai acara Istighosah Akbar di lapangan Desa Sumurgeneng, sekitar pukul 02.15 dini hari terjadi ledakan di atap rumah Mbah Warto yang diduga akibat dari bom molotov. Ledakan itu menyebabkan sangkar burung beserta burungnya hangus terbakar, serta kobaran api dari atap rumah. Mbah Warto, menyatakan dirinya sebenarnya tidak pernah mempunyai musuh, namun Ia mengakui setelah getol memperjuangkan penolakan pembangunan kilang minyak beberapa kali ada kejadian, termasuk teror bom molotov tersebut.
Angin segar mulai memihak warga Sumurgeneng dan Wadung ketika putusan sidang dibacakan pada 15 Mei 2019. Warga dinyatakan menang di PTUN. Rasa syukur dipanjatkan warga dengan mengadakan syukuran pada malam harinya. Akan tetapi, sampai tulisan ini digarap warga yang ditahan tersebut belum dibebaskan. Kemenangan warga terkait gugatan penlok kilang minyak Tuban belum membuat Pertamina menyerah. Putusan ini bukan berarti membatalkan pembangunan kilang minyak sebagai megaproyek yang telah disepakati. Pihak yang kalah hendak mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung. Namun apakah nantinya kilang minyak ini akan berdiri di tanah rampasan atau perusahaan dan pemerintah berpindah haluan?
Reporter : Pramana Jati Pamungkas
Kontributor : Dinda Ayu Taufani Mahardika
Editor: Elfita Rahma Aulia