Bukan Pasar Malam: Kisah Pasca Revolusi tentang Nasionalisme
Oleh: Alif Nur Rizki
Judul buku : Bukan Pasar Malam
Penulis : Pramoedya Ananta Toer
Desain sampul : Ong Hari Wahyu
Penerbit : Lentera Dipantara
Tahun terbit : Agustus 2015 (cetakan ke-8)
Tebal buku : 106 halaman
ISBN : 978-979-3820-03-3
“Dan di dunia ini, manusia bukan berduyun-duyun lahir di dunia dan berduyun-duyun pula kembali pulang…seperti dunia dalam pasar malam. Seorang-seorang mereka datang. Seorang – seorang mereka pergi. Dan yang belum pergi dengan cemas – cemas menunggu saat nyawanya terbang entah ke mana…” – Pramoedya Ananta Toer
Bukan Pasar Malam merupakan salah satu novel yang ditulis oleh Pramoedya Ananta toer pada kisaran waktu 1949-1950, atau kira-kira 5 tahun setelah Indonesia merdeka. Novel ini ditulis sesaat setelah perjalanan pribadi Pram yang menuju ke Blora untuk menjenguk ayahnya yang sedang sakit. Entah, mungkin ada beberapa kesamaan kisah yang menceritakan sosok ‘Bapak’ atau ‘Aku’ dalam novel ini mungkin berdasarkan pengalaman Pram sendiri yang ia tabrakan dalam romantisme tulisannya yang khas.
Pada awalnya, novel ini berkisah tentang sosok ‘Aku’ yang tak lama setelah keluar dari penjara, ia mendapat surat mengejutkan dari kampung halamannya yang memberitakan kalau ayahnya sedang sakit terserang TBC dan dirawat di rumah sakit. Jangan bayangkan keadaan rumah sakit pada masa itu, terlebih keberadaannya berada di Blora, sebuah daerah di tengah Jawa. Dalam surat itu keinginan ‘Bapak’ menyuruh anak sulungnya pulang adalah perintah yang seolah wajib dan harus segera dilaksanakan.
Namun tidak mudah bagi ‘Aku’ untuk segera mengiyakan keinginan ayahnya itu. Tampaknya sebagai anak revolusi, ia masih saja kesulitan mendapat ongkos untuk pergi ke tanah kelahirannya sendiri. Dalam kisah ini, pengarang lalu menabrakkan sekelumit kehidupan itu dengan kehidupan Presiden yang serba praktis. Ketika Presiden hendak pergi kemanapun, semua sudah tersedia; pesawat udara, mobil dan uangnya. Berbeda jauh dengan perjuangan sosok ‘Aku’ yang harus berkeliling mencari uang pinjaman dengan bersepeda.
Akhirnya, setelah mendapat hutang itu, keesokan harinya ‘Aku’ pergi bersama istrinya menuju Blora. Mereka berangkat menaiki kereta dari Gambir, masih di pagi-pagi berkabut. Alangkah indahnya jika benar pada masa itu, langit Jakarta masih sempat tertutup kabut.
Aku kira ayahmu tak bisa diharapkan lagi kesembuhannya.
Engkau bisa pulang, bukan? Tentu engkau bisa pulang.
Bagaimana tidak sesak dada sosok ‘Aku’ ini, setelah dua setengah tahun ia ditahan, dan selama itu pula ayahnya merindukan kedatangannya. Ternyata ia harus bergegas pergi ke kampung halamannya, pergi untuk menjenguk ayahnya yang sakit keras, barangkali kedatangannya bisa menjadi obat mujarab bagi ayahnya. Itu yang diinginkan. Lantas ia pergi dengan pergolakan perasaan yang menyelimuti, tentang ayah, adik, keluarganya nan jauh di sana. Pikiran itu yang ia rasakan semasa perjalanan.
Sesampainya di Blora, mereka disambut adik-adiknya yang tujuh bersaudara. Akan tetapi salah satu adiknya tidak tampak menyambutnya karena ia juga sedang sakit malaria. Perasaan senang yang diiringi sedih, karena dia sampai di rumah tapi ayahnya sakit dan adiknya yang ketiga juga sakit. Tak lama kemudian tokoh ‘Aku’ bersama istrinya berangkat menuju rumah sakit tempat ayahnya dirawat, perasaan sedih menyelimuti hatinya begitu melihat keadaan ayahnya yang sekarang kurus digerogoti penyakit.
Ayahnya adalah seorang yang nasionalis. Bagaimana tawaran-tawaran datang kepadanya untuk menjadi wakil rakyat. Ayahnya tetap menolak. Katanya, perwakilan rakyat hanya panggung sandiwara. Dan ia tak suka menjadi badut- sekalipun badut besar. Ia adalah seorang guru yang rela hidup melarat demi bangsanya. Bayangkan honor guru pada masa itu jelas tak cukup mengantarkan pengobatannya menuju Sanatorium. Jangan berani berharap pergi ke Sanatorium katanya, kalau engkau hanya pegawai biasa.
Sekali lagi, ia juga pernah mendapat tawaran menjadi koordinator pengajaran untuk seluruh daerah Pati. Namun, itu juga ia tolak karena menurutnya ia tidak dipanggil bekerja di kantor. Tempatnya hanya di sekolah. Guru-guru di tanah air ini adalah pelita bagi anak-anak bangsa, begitulah secuil kisah ‘Bapak’ dalam novel ini. Bagaimana pengarang kembali menekankan sosok ‘Bapak’ yang nasionalis ini agar dapat menjadi inspirasi untuk tumbuhnya jiwa patriotisme bangsa Indonesia yang kian hari kian luntur, bahkan sampai hari ini.
Ia menjalani kehidupan menjadi guru kurang lebih 30 tahun, ia juga yang menginginkan sekolah itu tetap berdiri walau tekanan Belanda saat itu cukup besar. Ayahnya rela bersepeda 20 kilometer setiap hari demi menjalani kehidupan sebagai seorang guru.
“Membukakan pintu hati anak-anak untuk pergi ke taman–, patriotisme. Dengar?”
“Dengar Bapak.”
“Mengerti?”
“Mengerti, Bapak.”
“Karena itu aku jadi nasionalis. Berat anakku. Sungguh berat menjadi seorang nasionalis.”
Kira-kira seperti percakapan yang terjadi dalam sebagian novel ini. Sang ayah yang memilih menjadi guru. Jadi lembaga Bangsa. Ia rela jadi kurban dari apa yang ia lakukan. Menurutnya juga, guru adalah korban dari keberhasilan revolusi yang kebanyakan kebutuhannya yang sulit dijangkau. Padahal peran guru amatlah penting pada masa itu.
Percakapan itu terjadi di rumahnya yang hampir runtuh, setelah 20 tahun tak direnovasi. Benar, setelah berminggu-minggu ayahnya dirawat, akhirnya ia dibawa juga kembali ke rumahnya. Lebih dekat dengan keluarganya dan anak sulungnya yang datang dari Jakarta. Namun tak lama setelah itu, ayahnya meninggal dunia. ia mati seorang diri.
‘Ya, mengapa kita ini harus mati seorang diri? Lahir seorang diri pula? Dan mengapa kita ini harus hidup di satu dunia yang banyak manusianya? Dan kalau kita sudah bisa mencintai seorang manusia, dan orang itu pun mencintai kita–,”
Ucap orang Tionghoa yang merupakan kawan main judi sang ayah bertahun-tahun itu. Ia duduk berlutut dan menjenguk melalui jendela ke ruang tengah tempat jenazah itu terbaring sendirian. Ia meneruskan.
“Seperti mendiang kawan kita itu misalnya—mengapa kemudian kita harus bercerai-berai dalam maut. Seorang. Seorang. Seorang. Dan seorang lagi lahir. Seorang lagi. Seorang lagi. Mengapa orang ini tak ramai-ramai lahir dan ramai-ramai mati? Aku ingin dunia ini seperti pasar malam.”
Keadaan yang dialami oleh sosok ‘Bapak’ di atas, memperkuat makna yang terkandung dalam judul novel Bukan Pasar Malam ini; bahwa manusia itu lahir sendiri, hidup sendiri, berjuang sendiri, senang sendiri, sakit sendiri, dan pada akhirnya mati sendiri. Itu semua karena dunia ini bukan pasar malam. Ya, pasar malam, tempat semua orang berbondong-bondong datang dan pergi. Novel ini sangat praktis dan memudahkan pembacanya untuk memahami dengan bahasa cerita Pram yang khas. Sangat ringan juga bagi pembaca karya-karya Pram yang masih awam. Selamat membaca.
Novelnya bagus, kalau mau beli novelnya dimana ya?
ada di toko buku kak seperti togamas atau gramedia, pesan online juga bisa
Novelnya bagus
terima kasih kak,, kalau penasaran cerita lengkapnya bisa dibaca langsung bukunya
Apa saja buku karya Pramoedya Ananta?
ada banyak kak.. genrenya juga bermacam macam