Kekerasan pada Perempuan Disabilitas

Pusat Studi dan Layanan Disabilitas Universitas Brawijaya (PSLD UB) merupakan suatu lembaga milik UB yang menaungi mahasiswa disabilitas dalam mendapatkan pendidikan yang layak dan inklusif di UB. Selain dalam hal akademik, PSLD juga melakukan riset studi serta diskusi yang mengangkat topik-topik disabilitas. Salah satu diskusi yang dilaksanakan oleh PSLD yakni DisbiliTea yang direncanakan akan rutin dilaksanakan sekali dalam dua minggu.

DisabiliTea dilaksanakan perdana tahun ini setelah sempat vakum pada Rabu (28/8) dengan mengangkat topik “Kekerasan verbal dan non-verbal pada perempuan difabel di Jawa Timur”. Pemateri diskusi kali ini yaitu Yuyun Agus Riani, S.Pd., M.Sc. merupakan dosen jurusan Ilmu Komunikasi (Ilkom) Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) UB. Diskusi dimulai pukul 15.30 WIB dengan penyampaian hasil penelitian Yuyun mengenai kekerasan yang dialami oleh difabel (different ability) terutama di Jawa Timur.

“Kekerasan merupakan segala tindakan, ucapan, serta perilaku yang menyebabkan ketidaknyamanan pada seseorang. Kekerasan yang umumnya sering terjadi pada difabel yakni verbal (ucapan) dan non verbal (perlakuan, tidak dilontarkan).”, ucap Yuyun saat memulai materi diskusi.

Berdasarkan hasil penelitian Yuyun, kekerasan verbal yang sering didapatkan oleh difabel yakni dikatai “kodok”, “bongkok” dan “suster ngesot” kepada penyandang tuna daksa. Pernyataan menyakitkan hati seperti “gak laku nikah”, “siapa yang mau sama kamu”, “gak usah sekolah karna nanti kamu gak jadi apa-apa” dan “kamu gak bisa mandiri, kamu hanya akan merepotkan orang” sering diucapkan oleh pelaku kepada difabel korban kekerasan.

Kekerasan non verbal yang dialami perempuan difabel umumnya dengan dihindari serta ditirukan disabilitasnya. Sementara, saat di ruang publik sering terjadi ketika ada yang memandangnya dari atas ke bawah serta sering digratiskan ketika makan oleh pemiliki tempat makan bahkan dibayari orang tak dikenal. Kekerasan di tempat umum wajar terjadi karena pada dasarnya orang akan memperhatikan sesuatu yang memiliki keunikan.

Kebanyakan orang Indonesia tidak merasa mengalami kekerasan saat mendapatkan perlakuan atau ucapan yang sebenarnya adalah kekerasan. Itu terjadi karena di Indonesia terbiasa menganggap hal tersebut adalah permisif. Seperticatcalling yang seringkali dilakukan pria kepada perempuan melalui kata-kata pujian yang menimbulkan rasa tidak nyaman pada perempuan. Pelaku kekerasan perempuan disabilitas bisa berasal dari teman, lingkungan sekitar, orang baru bahkan keluarga. Tindakan pengucilan yang dilakukan keluarga seperti tidak memperbolehkan keluar karena dianggap memalukan.

“Korban umumnya tidak mau melapor karena tidak ada jaminan perlindungan hukum, bahkan lebih menjatuhkan korban perempuan.”, tegas Yuyun.

Terdapat 3 kiat dan strategi yang diberikan Yuyun agar difabel terhindar dari kekerasan verbal maupun non verbal, yakni (1) memberikan pemahaman pada orang disekitar (make them understand, make them listening); (2) difabel harus berprestasi, sehingga menunjukkan bahwa dirinya able; dan (3) diamkan pelaku kekerasan, terkadang melakukan sesuatu sendiri lebih baik, serta tidak bergaul dengan pelaku kekerasan.

Ketika terjadi kekerasan pada difabel, Yuyun menyarankan agar difabel fight back  dan menantang pelaku kekerasan dengan menjelaskan kondisinya. Tetapi, sebagian besar perempuan difabel mendiamkan pelaku dan mengatakan kalau yang dirasakannya adalah ujian dan Tuhan yang akan menyelesaikan persoalan tersebut.

Reporter: Aisyah R. Harahap
Editor : Naila Nifda A.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

error: Maaf konten ini merupakan hak cipta kami. Untuk menduplikasi karya ini dapat menghubungi kami di redaksi@persmacanopy.com